Laman

Kamis, 12 Juni 2025

PENDIS: Rintisan Awal Perjuangan Pendidikan Islam dari Natsir

PenulisLutfiyatun Ulaa |

PENDIS, atau Pendidikan Islam, merupakan salah satu bentuk awal perjuangan Muhammad Natsir di masa penjajahan Belanda. Tujuannya adalah untuk mencerdaskan anak bangsa melalui sistem pendidikan yang berlandaskan nilai-nilai Islam. 

PENDIS berlangsung selama lebih dari sepuluh tahun, sejak 1932 hingga 1942, dan berlokasi di Bandung.

Cita-cita Natsir dalam mendirikan PENDIS sangat besar, sebagaimana diungkapkan dalam buku "Aba M. Natsir sebagai Cahaya Keluarga". Dalam buku tersebut disebutkan:

"Besar pula hasrat Aba untuk merombak sistem pendidikan dan pengajaran bagi putra-putri Islam, yang kelak akan menjadi generasi penerus. Pendidikan yang berlandaskan sistem pesantren dan madrasah memang dapat melahirkan individu yang beriman dan berakhlak baik, namun sering kali buta terhadap perkembangan dunia. Padahal Islam mendorong umatnya untuk mencapai kemajuan lahir dan batin, dunia dan akhirat. Sementara pendidikan ala Barat yang diwariskan oleh penjajahan Belanda hanya mengisi otak, tetapi kosong secara spiritual."

Kecintaan Natsir terhadap masa depan bangsanya tercermin dari gagasan besar tentang pentingnya pendidikan yang berkualitas. Meskipun ia sendiri merupakan lulusan dari sekolah-sekolah Belanda, cara berpikirnya tetap kritis dan patriotik. 

Bagi Natsir, pendidikan agama Islam harus diintegrasikan ke dalam sistem pendidikan yang dijalani anak-anak Indonesia, meskipun pada saat itu negeri ini masih berada dalam bayang-bayang penjajahan.

Dalam pandangannya, Islam adalah sumber kemerdekaan berpikir dan sikap bertanggung jawab. Menurut Natsir, sistem pendidikan yang didominasi oleh penjajahan Belanda terlalu akademis dan semata-mata mencetak lulusan untuk menjadi pekerja. 

Sementara itu, pandangan Islam menekankan bahwa mencari ilmu tidak hanya bertujuan untuk menjadi pintar secara akademik atau sekadar memperoleh pekerjaan, melainkan bagaimana ilmu tersebut bisa memberikan manfaat bagi diri sendiri maupun orang lain. ***


(Penulis adalah mahasiswi STID M Natsir, Jakarta)