Laman

Kamis, 17 Juli 2025

Di Balik Jeruji, Ada Hati yang Lebih Merdeka

Penulis: Mufidah Zulfa |

Saya ingin berbagi sedikit refleksi pribadi setelah kembali menonton film Miracle in Cell No. 7. Meski film ini sudah cukup lama dirilis, setiap kali saya menyaksikannya, perasaan yang muncul tetap sama—emosional, hangat, dan penuh makna. Bukan hanya karena kisahnya yang menyedihkan, tapi juga karena pesan moral yang begitu kuat: tentang kasih sayang, ketidakadilan, dan ketulusan yang melampaui logika. 

Foto ilustrasi: Pixabay.com

Tokoh utamanya adalah Yong Goo, seorang ayah dengan keterbatasan mental yang amat mencintai putrinya, Ye Seung. Hidup mereka sederhana namun bahagia—hingga suatu hari, dunia mereka jungkir balik. Yong Goo dituduh melakukan kejahatan yang tidak pernah ia lakukan. Tanpa kesempatan untuk membela diri, ia dijebloskan ke penjara dan dipisahkan dari anaknya tercinta.

Bagi saya, bagian paling menyentuh adalah bagaimana cinta seorang ayah digambarkan begitu dalam dan tulus, meski ia kesulitan menyampaikan perasaan secara logis. Yong Goo tidak pernah mementingkan dirinya sendiri. Bahkan di titik terendah hidupnya, yang terus ia pikirkan hanyalah kebahagiaan Ye Seung.

Film ini membuka mata saya akan kenyataan pahit bahwa keadilan di dunia tidak selalu berpihak pada yang benar. Kadang, orang baik harus menanggung beban hanya karena mereka tidak memiliki kuasa atau suara untuk membela diri. Dari situ saya belajar, bahwa kebaikan hati saja belum cukup—diperlukan keberanian dan keteguhan untuk memperjuangkan kebenaran.

BACA JUGA: Syair Menggugah Tentang Menulis

Namun di balik semua kesedihan itu, film ini juga memperlihatkan keajaiban dari ketulusan. Teman-teman satu sel Yong Goo, yang awalnya bersikap kasar, perlahan luluh oleh ketulusannya. Mereka bahkan menjadi bagian penting dalam mempertemukannya kembali dengan sang putri. Dari sini saya percaya, bahwa kebaikan itu menular. Ketulusan yang konsisten bisa melembutkan hati yang paling keras sekalipun.

Saya juga sangat terinspirasi oleh sosok Ye Seung—baik sebagai anak kecil yang tabah, maupun sebagai perempuan dewasa yang berani memperjuangkan keadilan. Baginya, cinta kepada ayah bukan sekadar kenangan, tapi juga sumber kekuatan untuk menuntut kebenaran, bahkan bertahun-tahun setelah semuanya berlalu.

Miracle in Cell No. 7 mengajarkan saya bahwa keajaiban bisa muncul dari tempat yang tak terduga. Bahwa mereka yang dianggap kecil, lemah, atau tidak penting pun bisa menjadi tokoh utama dalam kisah besar. Selama kita tetap tulus, terus memperjuangkan kebenaran, dan tidak kehilangan harapan, maka akan selalu ada cahaya di ujung jalan. ***

(Penulis adalah mahasiswi STID M Natsir, Jakarta)