Laman

Jumat, 11 Juli 2025

Pilkada Gado-Gado

PenulisAhmadie Thaha (Cak AT) |

Kalau dulu rakyat memilih langsung kepala daerahnya, kini ada yang hendak kembali ke zaman "musyawarah mufakat elite". Katanya demi efisiensi, tapi benarkah itu solusi?


Presiden Prabowo Subianto tampaknya bukan hanya ingin mengubah cara kita memilih, tapi juga cara kita berpikir soal memilih. Dalam berbagai kesempatan, dia menyuarakan bahwa pemilu serentak —baik nasional maupun daerah— terlalu berat, terlalu mahal, dan tidak otomatis menghasilkan pemimpin yang berkualitas.

Pernyataannya yang paling menggema saat pidato ulang tahun Partai Golkar di Sentul, 12 Desember 2024. Di hadapan para kader dan elit partai, Prabowo menyebutkan bahwa pilkada lewat DPRD layak dipertimbangkan sebagai solusi mengurangi beban logistik dan kelelahan demokrasi. 

Sekitar setengah tahun setelah itu, Mahkamah Konstitusi (MK) pun mengetuk palu. MK membuat keputusan dalam sebuah kasus judicial review yang memisahkan pemilu nasional dan pemilu daerah. Putusan fenomenal MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang tertanggal 26 Juni 2025 kontan menghangatkan wacana politik nasional.


Putusan MK ini membuka peluang besar, sekaligus celah lebar perbaikan kualitas demokrasi. Para politisi DPR pun bereaksi, ada yang negatif dan ada pula yang positif. Bahkan, seperti ada yng mendapat inspirasi langit. Fraksi PKB, misalnya, langsung mengajukan wacana pilkada lewat DPRD saat revisi UU Pilkada. 

Alasannya? "Lebih sederhana," ujar Muhammad Khozin, anggota DPR dari PKB. Lebih demokratis, tambah Jazilul Fawaid —karena dipilih secara demokratis lewat wakil rakyat. Alasan-alasan lain, jika Anda setuju, silahkan Anda tambah sendiri. Ah, demokrasi memang punya banyak tafsir. Dan kalau tafsirnya bisa digoreng, mengapa tidak?

Mari kita buat analogi yang sederhana. Bayangkan pemilu itu seperti pesta rakyat. Semakin banyak menunya, semakin ramai undangannya, semakin berat kerja dapurnya. Nah, pilkada langsung itu seperti pesta rakyat dengan sistem "prasmanan terbuka". Capek? Pasti. Ribet? Jelas. Tapi setidaknya rakyat tahu apa yang mereka makan.

Kini, dengan wacana pilkada lewat DPRD, pesta rakyat itu ingin diubah jadi dinner eksklusif undangan khusus. Mewah, tenang, dan hemat tenaga. Tapi masalahnya: yang masak, yang makan, dan yang memilih menunya jangan-jangan orang-orang yang sama. Hanya variasinya saja yang dibuat seolah kerja dapur terbuka.

Inilah yang dikhawatirkan banyak pihak. Dari dosen tata negara UGM, Yance Arizona, hingga ahli hukum Unand, Charles Simabura, semua kompak bilang: "Ini demokrasi mundur gear." Bahkan mereka menganggapnya sebagai bentuk manipulasi putusan MK.


Karena toh, menurut mereka, MK sudah pernah menyatakan—dalam putusan Nomor 14/PUU-XI/2013—bahwa pilkada langsung adalah bagian dari demokrasi konstitusional. Artinya, jika pilkada dialihkan ke DPRD, bukan hanya prosedur yang berubah, tapi juga ruh demokrasi yang dipreteli.

Namun, di tengah kecemasan itu, muncul gagasan alternatif yang menarik —dan, boleh dibilang, khas Indonesia: Pilkada Gado-Gado. Apa itu? 

Ini bukan soal salad sayur dengan bumbu kacang. Tapi ide tentang pilkada yang memadukan mekanisme serentak nasional (untuk Pilpres, DPD, DPR) dengan pemilu daerah. Yang daerah ini, melalui mekanisme selektif lokal, yang melibatkan stakeholder kultural dan komunitas daerah dalam menyeleksi calon kepala daerah sebelum dipilih DPRD.

Model ini mengakui realitas sosiologis bahwa setiap daerah punya sistem nilai, struktur sosial, dan logika kepemimpinan yang berbeda-beda. Di Madura, misalnya, kekuatan lokal bisa jadi berada di tangan kiai dan pesantren. Di Papua, bisa dipegang oleh kepala suku. Di Minang, oleh LKAAM dan ulama adat. 

Maka, keterlibatan masyarakat adat atau komunitas lokal bisa menjadi tameng terhadap oligarki elite lokal yang sering kali menjual "aspirasi rakyat" demi cek kosong di hotel bintang lima. Dengan kata lain, pilkada gado-gado ini bisa jadi win-win solution —asal disusun dengan prinsip:

- Seleksi terbuka dan transparan,
- Melibatkan lembaga adat, tokoh agama, dan kelompok masyarakat sipil,
- Mekanisme pengawasan independen atas proses pengusulan calon.


Kalau tidak, maka pilkada lewat DPRD hanya akan jadi bursa politik lokal, dengan fraksi sebagai makelar dan calon sebagai komoditas. Pilihan rakyat pun jadi transaksi kamar.

Walhasil, benar bahwa pemilu serentak itu berat. Tapi mengubah mekanisme pilkada hanya demi kepraktisan administratif adalah reduksi atas hak rakyat. Demokrasi bukanlah sistem paling efisien, tapi ia paling membuka ruang kontrol, partisipasi, dan akuntabilitas.

Walakin, jika pilkada lewat DPRD hendak dipaksakan, maka sebaiknya disusun dengan prinsip demokrasi yang kreatif, bukan yang reaktif. Libatkan adat, komunitas, dan nilai-nilai lokal untuk menyeimbangkan dominasi elite. Kita tak butuh demokrasi yang hanya efisien bagi penguasa, tapi yang efektif bagi rakyat.

Toh, kalau yang kita cari hanya efisiensi, lebih baik semua pemilu kita adakan di satu ruangan saja. Di hotel. Di meja bundar. Dengan voting terbuka dan amplop tertutup. Tapi itu bukan demokrasi. Itu stand-up comedy yang tragis. ***


(Penulis adalah kolumnis Ma'had Tadabbur al-Qur'an)