Kamis, 10 Juli 2025

Juni, Saat Aku Ingin Pulang

Penulis: Aufa Afifah |

Bulan Juni hadir seperti jeda dalam napas panjang kehidupan. Ia bukan sekadar musim, melainkan ruang sunyi bagi seorang gadis berambut ikal bernama Alra—yang sejak kecil menjadikan kesendirian sebagai pelarian dan keheningan sebagai sahabat. 

Foto ilustrasi (Pixabay.com)

Bagi Alra, sunyi bukan sesuatu yang menakutkan. Ia justru menjadi pelipur; tempat berteduh dari dunia yang tak pernah benar-benar memeluknya.

Di antara teman-temannya, Alra seperti batu prasasti—diam dan tak pandai menyapa. Ia lebih sering terduduk di bangku, tenggelam dalam bait-bait puisi dan goresan abstrak di atas kertas lusuh dengan pena birunya. 

Dalam keluarganya pun, Alra terasa seperti hiasan mati: ada, namun jarang benar-benar dilihat. Ia tak suka berbincang, tak gemar bercanda. Diam adalah bahasa cintanya.

Alra adalah anak bungsu dari tiga bersaudara. Dua kakaknya, Rahmat dan Rahman, hanya terpaut satu tahun darinya. Seperti kembar yang lahir dalam jeda singkat, tapi berbeda nasib. 

Rahmat dan Rahman tinggal di pesantren, sementara Alra tetap di rumah—ditemani sunyi, kaset cerita nabi yang diputar ibunya, dan buku-buku ilmiah yang tak ia sukai, tapi harus dibaca atas perintah ibu. 

Pintu rumah selalu terkunci rapat. Ayah dan ibu tenggelam dalam pekerjaan. Alra tumbuh seperti pohon kaktus: keras di luar, rapuh di dalam.

Sampai suatu hari, Rahman dipulangkan dari pesantren karena kenakalannya. Salah seorang asatizah berkata, “Siapa sangka anak ini berani melempar anak biawak ke depan saya, lalu menertawakan saya seolah saya bukan siapa-siapa. Ini bukan sekali dua kali. Sudah terlalu banyak hal gila yang dia lakukan. Kembalikan saja ke orang tuanya.”

Tangis ayah dan ibu menyambut kepulangan Rahman. Namun Alra—yang kala itu masih duduk di kelas 4 SD—justru merasa hidup kembali.

Senyuman Rahman bagai cahaya yang tak dijanjikan. Tingkah cerobohnya, ide-idenya yang konyol, membuat hari-hari Alra lebih dari sekadar rutinitas. Alra yang beku pun mulai mencair—tertawa, bercanda, hidup.

“Kan kita dikasih dua ribu sehari… yuk kita tabung, Neng. Hari ini dua ribu Aa masukin celengan, dua ribu Eneng buat jajan. Besok gantian, ya. Biar nanti bisa beli CD Coboy Junior,” ujar Rahman dengan mata berbinar.

Seperti biasa, Alra mengangguk patuh. Ia selalu mengiyakan apa pun yang Rahman katakan. Bahkan ketika tahu celengan itu tak pernah benar-benar diisi. Dua ribu rupiah itu habis untuk kelereng, benang layangan, atau koleksi panggal. Tapi Alra tak peduli. Seburuk apa pun Rahman, dia satu-satunya teman sejati yang pernah ia miliki.


Saat Alra sakit, Rahman akan membawakannya kompres dan bubur—kadang obatnya salah, tapi niatnya selalu tepat. Ia bisa mengajari Alra pelajaran TIK meski dirinya sendiri tak pernah menyentuh buku. Nilai Alra bahkan bisa sempurna jika belajar bersama Rahman.

“Eneng gimana sih? Masa nilai MTK anjlok? Belajar yang benar!" hardiknya suatu hari seraya tak lupa menyelipkan kata-kata kasar. Padahal, ia sendiri kerap kabur saat ujian.

Ketika Rahmat lulus dari pesantren dan kembali ke rumah, suasana berubah. Bukannya membawa kehangatan, kehadirannya justru menciptakan jarak. 

Rahmat religius. Hafalan Qur’annya hampir khatam. Ia rajin mengikuti kajian kitab. Diam, tapi tajam. Keberadaannya terasa asing bagi Rahman dan Alra. Ia seperti cermin yang menyilaukan. Rahman merasa kalah. Iri pun mulai menyala seperti bara disiram minyak.

“Ibu udah nggak sayang sama kita. Yuk kita kabur dari sini,” bisik Rahman suatu malam.

Mereka kabur, hingga ke Babelan. Tapi ketika malam tiba, Alra menangis ketakutan.

“Aa, udah malam. Kita tidur di mana? Hiks…”

“Sabar, Neng. Kita harus kuat. Kita hidup tanpa Ibu, Ayah, dan Aa Rahmat. Mereka nggak sayang kita.”

Namun ketakutan mengalahkan segalanya. Rahman menyerah, meminjam HP orang asing, dan menelepon ayah.

Pelarian itu belum seberapa. Saat masuk SMP, kenakalan Rahman memuncak. Ia kembali dimasukkan ke pesantren. Tapi tak lama kemudian, ia dipulangkan—lebih tragis dari sebelumnya. Ia dituduh kabur, memukuli siswa, dan menjadi biang kerok.

Padahal kenyataannya lain. Rahman hanya ingin menyelamatkan seorang teman dari keroyokan. Tapi justru dia yang dihajar—ditarik dari ranjang tingkat dua, dilempar, dipukul, dan dibiarkan berdarah. Dengan kaki luka parah, ia kabur lewat sawah gelap.

Di jalan sepi, ia bertemu para preman yang tengah berjudi. Aneh, mereka justru menolongnya. Mereka melihat luka-luka di tubuh kecil itu dan menawarkan tumpangan. “Saya dipukuli, Bang… dari pesantren,” lirihnya. Mereka mengantar Rahman ke rumah nenek.


Saat ayah dan ibu datang ke sana, yang mereka lihat bukan Rahman yang cerewet dan lucu, tapi tubuh yang diam. Mata tanpa sinar. Mulut yang tak mau menjawab satu pun pertanyaan.

Sejak saat itu, Rahman bungkam. Trauma merampas suaranya. Dan, di saat itu, bulan Juni kembali datang. Kali ini bukan sebagai ruang bagi Alra, tapi sebagai saksi luka kakaknya—luka yang tak tampak, namun menghancurkan: di hati, di kepercayaan, di jiwa yang dikhianati oleh dunia yang katanya “religius” tapi ternyata lebih kejam dari jalanan malam.

Waktu berjalan. Rahman dipindahkan ke SMP yang sama dengan Alra dan Rahmat. Tahun ajaran berbeda: Rahmat kelas 9, Rahman kelas 8, dan Alra kelas 7. Dan Alra tersenyum lagi, karena Rahman tahu cara menghidupkan dunia. Alra kembali jadi “kacung” Rahman.

Rahman mulai bangkit, menemukan teman-teman yang juga terluka. Mereka tumbuh dalam kerasnya dunia, menciptakan topeng kekuatan dari kenakalan. Alra pun terseret. Ia tak benar-benar nakal—lebih pada pengabdian yang membutakan.

Alra membantu Rahman pacaran, menyembunyikan rokok, bahkan mencicipi dunia yang sama. Sampai ia terpilih menjadi anggota OSIS. Tapi karena kenakalannya, ia dipanggil ke ruang BK.

“Saya pilih kamu karena saya kira kamu seperti Rahmat. Tapi ternyata kamu lebih mirip Rahman. Kalau mau keluar dari OSIS, bicaralah baik-baik. Jangan hancurkan nama sekolah.”

Alra keluar dari OSIS. Demi Rahman. Demi pengabdiannya.

Suatu sore yang letih, mereka bermain bersama teman-teman tongkrongan. Tawa dan candaan menyatu dengan deru motor yang berlalu-lalang. Dunia seolah baik-baik saja. Hingga ponsel Alra bergetar. Panggilan dari ibu.

“Alra… pulang ya, Ibu sendirian di rumah…” suara ibu lirih, tapi terasa jauh.

Alra melirik layar ponsel, lalu menghela napas pendek. Terlalu asyik. Terlalu seru. Ia mengabaikannya.

Panggilan kedua masuk. Suara ibu mulai cemas, meski masih lembut. “Alra… pulang ya, Nak…”


Alra tetap menolak. Ia masih mabuk euforia kebebasan sesaat.

Lalu panggilan ketiga datang—seperti tamparan. Ada kegundahan yang tak bisa disangkal.

Dengan berat hati, Alra menoleh ke arah Rahman. “A, aku pulang dulu ya. Disuruh Ibu.”

Rahman mengangguk santai. Alra pun berjalan ke motor. Tapi saat hendak menaikinya, rok sempitnya tersangkut pijakan. Tubuhnya limbung, jatuh menghantam tanah keras.

Dunia gelap. Lututnya dislokasi. Ia tak mampu bersuara. Nyeri membanjiri tubuhnya. Bahkan untuk sekadar menjerit pun, tubuhnya tak memberi izin.

Rahman panik. Ia berlari, menggenggam bahu Alra, lalu membawanya pulang. Di depan rumah, Ibu berdiri dengan wajah pucat. Tangannya masih menggenggam celana yang tadi dicuci. Air matanya mengalir tanpa aba-aba.

“Padahal mau diajak jalan-jalan sama Ibu tadi…” lirihnya.

Alra menangis. Bukan karena lututnya, tapi karena penyesalan yang jauh lebih dalam.

Kakinya kini tak seperti dulu. Selama sebulan penuh di bulan Juni, ia memakai gips. Sebulan penuh pula ia merenung, menyadari—betapa jauhnya ia dari cahaya, dari agama, dari rumah.

Ia teringat betapa seringnya menolak memakai gamis dan hijab panjang yang diinginkan ayah-ibu. Ia dan Rahman merasa tak dimengerti. Menganggap orang tua terlalu mengekang, terlalu menyayangi Rahmat seorang.

Namun kini ia sadar. Orang tua bukan manusia yang langsung tahu cara menjadi orang tua. Mereka juga sedang belajar. Perlahan-lahan, mencoba memahami. Mencoba hadir.

Dan untuk pertama kalinya, Alra merasa malu pada dirinya sendiri. Ia menyesali kebahagiaan semu yang dikejarnya. Tawa yang dulu ia dambakan, kini terasa hampa.

Ia bertanya dalam hati: “Mengapa Allah memilih kata 'tenang' daripada 'bahagia'?”

Jawabannya sederhana tapi mengguncang: karena bahagia adalah pilihan bagi yang hatinya tenang. Meski hidup terasa hampa, jika hati tenang, maka bahagia sejatinya telah hadir.

Kini Alra mengerti mengapa Rahmat selalu tampak damai. Rahmat tak pernah mencari bahagia dengan gegap gempita. Ia merawat keheningan hingga mekar menjadi kebahagiaan.

Sedangkan dirinya? Alra mencari tenang lewat jalan bahagia—dan di situlah kesalahannya. Karena semakin dikejar, ia justru makin jauh dari ketenangan.

Keegoisannya jadi api yang membakar Rahman. Ia sadar, ia adalah pemantik pertama kobaran gelap kakaknya. Ia menyesal. Terlalu mudah membenci Rahmat, terlalu cepat memihak Rahman.

Dan kini, saat Rahman makin tenggelam dalam kenakalan, Alra hanya bisa berdiri di tepi, memanggil-manggil namanya.

"A Rahman, pulang yuk... Nonton CD nabi-nabi aja. Nggak usah beli Coboy Junior lagi... Sama Aa Rahmat juga. Aa ternyata baik, loh... Jangan iri lagi ya, A... Ibu, Ayah, Aa Rahmat sayang kok... Mereka nunggu kita... A, pulang ya... Alra juga udah mau pulang. Kayaknya jalan makin gelap, A... Aa nggak takut sendirian? Mending kita pulang bareng... Maafin Alra... Maafin..."

Namun suara itu tak sampai. Rahman terlalu jauh.

Dan Alra, hanya bisa menunggu. Dengan segenap harap dan doa, bahwa suatu hari... mereka akan pulang. Bersama. Ke rumah. Ke ibu. Ke cahaya.

“Maafin Alra...”


(Penulis adalah mahasiswi STID M Natsir, Jakarta)