Rabu, 13 Agustus 2025

Musyawarah dan Demokrasi Laksana Langit dan Bumi

Penulis: Eling Gusti |

"Musyawarah tertinggi sebuah harakah di pentas negara bersistem demokrasi adalah peluang emas memperagakan sistem syura yang indah dan mempesona."

Ilustrasi Pixabay.com

Gen Z dan generasi di bawahnya lahir di zaman ketika dunia sedang unipolar,  di mana kekuasaan global didominasi kutub tunggal Barat dengan USA sebagai batang utamanya.

Salah satu kredo kemenangan kutub tunggal Barat ini dirumuskan Francis Fukuyama dalam bukunya "The End of History and the Last Man" (1992): "Apa yang sedang kita saksikan bukan sekedar berakhirnya Perang Dingin, atau berlalunya sebuah periode sejarah pasca-perang tertentu, tetapi akhir dari sejarah itu sendiri.. Yaitu, titik akhir evolusi ideologi manusia dan universalisasi demokrasi liberal Barat sebagai bentuk final pemerintahan manusia."

Gen Z dan generasi di bawahnya lahir dan hidup di kemapanan horizon berpikir seperti ini. Apalagi Gen Z Muslim, mereka tak pernah merasakan jadi penonton live pertarungan dua ideologi Kapitalisme Liberalisme versus Marxisme-Komunisme di luar buku. Gen Z Muslim adalah bagian dari populasi muda dunia yang menerima default sistem kepemimpinan-politik-pemerintahan demokrasi-liberal sebagai sistem yang 'unggul' setelah menang lewat bubarnya Uni Soviet Komunis 1989. Mereka lahir dan besar ketika "sejarah pertarungan telah usai" seperti kata Fukuyama.

Tapi mereka juga generasi yang beruntung, karena saat mereka beranjak dewasa  --hanya 33 tahun setelah buku Fukuyama-- kini mereka menyaksikan tanda-tanda melemahnya kekuasaan unipolar itu dalam berbagai sektor. 

Bangsa-bangsa para penantang yang underdog sejak 40 tahun silam, kini bangkit mendesak Barat di semua sektor: moneter, manufaktur, energi, perdagangan, teknologi, khususnya teknologi informasi dan sebagainya. Banyak yang percaya, the giant is about to fall.

Bagi setiap Harakah Islam, perang ideologi, naik turunnya bangsa adidaya, bahkan menang kalahnya umat Islam: selalu merupakan peluang. Peluang meninggikan Kalimat Allah dan mempromosikan kebaikan-kebaikan tuntunan Syariat Islam. Untuk itulah Harakah didirikan. 

Harakah dalam bentuk organisasi, partai, perkumpulan atau apapun, tidak didirikan untuk jadi arena perlombaan berebut kedudukan, jabatan dan kekayaan. Perhatikanlah satu per satu sejarah Harakah-harakah. Begitu para pemimpinnya terjerembab pada lomba berebut jabatan, gerakan-gerakan itu akan melemah, lalu berguguran laksana ranting dan dedaunan kering, berserak dihempas angin zaman, diinjak-injak sepatu lars para musuh.

Musyawarah tertinggi sebuah Harakah di pentas negara bersistem demokrasi, adalah peluang emas memperagakan sistem Syura yang indah dan mempesona. Khususnya di hadapan sistem demokrasi liberal yang make up-nya memuliakan "vox populi vox dei" (suara rakyat adalah suara tuhan), tapi pada praktiknya "sola vox est vox pecuniae" (satu-satunya suara adalah suara uang). 

Ada beberapa mutiara penting untuk disadari dan disepakati oleh para Jundullah di dalam Harakah dalam rangka mempromosikan sistem syura ini:

Pertama, syura adalah sistem kepemimpinan yang dituntunkan Allah Ta'ala dan diteladankan Rasulullah ﷺ serta Para Sahabatnya sebagai sistem bermasyarakat dan berkepemimpinan terbaik untuk manusia: di hadapan semua sistem. 

Kedua, karena dia merupakan 'sistem' maka Syura hanya bekerja sempurna jika menjadi bagian terintegrasi dengan sistem Islam lainnya: tradisi ilmu, aqidah, akhlaq, tijarah, muamalah, usrah, da'wah, hukum, bahkan jihad.

Ketiga, Indonesia negara yang meletakkan Syura sebagai asas kepemimpinan rakyat: "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan." Tapi itu tinggal teori. Gen Z tidak akan menemukan kata 'demokrasi' di teks Pancasila, tidak pula di UUD '45.

Ustadz Dr. Nashirul Haq pernah membuat Prof. Dr. Din Syamsuddin kebingungan dengan 'menantang'nya mencari kata 'demokrasi' di klausul manapun di amandemen UUD '45. Sampai bingung siapa yang sebenarnya mewajibkan demokrasi-liberal yang mayatnya kita bangkitkan lagi di Reformasi 1998, sesudah dikubur sejak Dekrit Presiden 1955. Kini seperempat abad sesudahnya, demokrasi seakan-akan telah menjadi iman politik kita.

Keempat, dikuburnya Syura dari praktik kenegaraan kita dan diadopsinya demokrasi-liberal oleh para penyelenggara negara  sebenarnya merupakan pendulum balik yang sudah kita alami 3 kali sebagai bangsa. Pertama, pendulum balik dari otoritarianisme penjajah Belanda dan Jepang. Kedua, pendulum balik dari otoritarianisme di ujung kekuasaan Soekarno. Ketiga, pendulum balik dari otoritarianisme 32 tahun kekuasaan Soeharto. Demokrasi-liberal adalah alat pembebas.

Kelima, bagi Harakah Islam, memasuki arena demokrasi-liberal adalah pilihan 'daripada', bukan sebuah keyakinan bahwa sistem ini adalah yang terbaik. Alur berpikir seperti ini dijelaskan dengan baik oleh buku "Min Fiqhud Daulah Fīl-Islām" (Fiqh Bernegara) karya Syaikh Yusuf Qardhawi terbit 1997. 

Sistematika buku ini selaras dengan Sistematika Wahyu. Buku itu menyajikan ayat-ayat Al-Quran tentang kekuasaan, lalu hikmah dari Sirah Nabawiyah dan Shahabiyah, lalu memetakan berbagai sistem kontemporer yang akhirnya disimpulkan: bahwa saat buku itu ditulis, tersedia dua pilihan bagi Harakah Islam untuk berpartisipasi politik --sembari membangun pondasi mantap bagi Sistem Syura yang sempurna: Demokrasi-Liberal atau Otoritarianisme-Komunis. 

Maka pilihan pertama dianggap oleh Syaikh Qardhawi lebih terbuka bagi partisipasi Harakah Islam. Maka Harakah di berbagai negara bikin partai dan ikut pemilihan umum, termasuk tahun 2000 di Indonesia berdirilah partai para murid Syaikh Qaradhawi, Partai Keadilan. Di Tunisia ada En-Nahda, di Yordania ada Partai Amal, di Türkiye ada Refah jadi Fazilet jadi sekarang Saadet dan AKP.

Maka, para Jundullah di Harakah yang tidak membentuk partai, khususnya para Gen Z-nya, memiliki peluang untuk hadir membangun basis dan jejaring politik secara lebih kreatif dan inovatif. Kalau platformnya masih demokrasi-liberal dan kapalnya masih partai peserta pemilu seperti yang dilakukan oleh HMI, PKS, PAN, PKB, PPP dan PBB, kurang kreatif lah. Karena itu sudah pola sejak 1950-an Masyumi.. Bukan juga dengan partai politik non-pemilu seperti Hizbut Tahrir yang sudah sejak 1953. 

Bikin terobosan lah, hadirkan tradisi ilmu, aqidah, akhlaq, intelejensia dan kemahiran manuver siyasah yang indah dan mempesona lewat Syura. Bikin arus baru setinggi gunung-gunung. Jangan cuma mengikuti arus yang ada. Jangan pakai gaya demokrasi-liberal, sudah ketinggalan zaman. 

Kata Mahathir Mohammad, "Jika kamu mau jadi pemimpin, kamu harus punya gagasan. Jika tidak, kamu cuma seorang pengikut." ***


(Penulis adalah seorang kolumnis)