Kamis, 25 Maret 2021

Menyelami Konsep Adab bersama Para Cendikiawan Muda Pesantren At-Taqwa Depok

Oleh: Azzam Habibullah ---

Jam dinding di Mushalla Pesantren At-Taqwa Depok menunjukkan pukul 9 pagi. Irama tiap detiknya seolah selaras dengan degup jantung empat santri PRISTAC (Pesantren for Study Islamic Thought and Civilization – setingkat SMA), yang hari ini (15/03/2021) menjalani kegiatan presentasi makalah di hadapan dewan Guru dan santri lainnya. Meski wajah mereka nampak gugup, namun hal itu tidak memudarkan semangat dari para cendikiawan muda ini dalam menampilkan kajian tentang wajah dunia intelektual Islam, yang berkaitan dengan konsep adab dalam Islam. 

Presenter pertama, Faisal Nabil, membuka acara dengan membentangkan makalah mengenai pendidikan adab Sultan Muhammad al-Fatih. Santri asal Bekasi ini memang dikenal menggemari topik sejarah dan pendidikan. Pendidikan berbasis adab yang dijalaninya selama di Pesantren At-Taqwa Depok, mendorongnya untuk menemukan relevansi antara pendidikan adab yang dijalani oleh Sang Penakluk Konstantinopel itu dengan kesuksesannya menjadi pemimpin. 

Masalah "loss of adab" yang menjadi perhatian filsuf Muslim terkemuka Syed Muhammad Naquib al-Attas, juga menjadi pijakan bagi Ali Sina, presenter kedua, dalam melakukan tinjauan kritis terhadap wacana Islam Liberal yang digaungkan sejumlah sarjana Muslim "kiri" di media sosial. 

Menurutnya, penyebaran paham Liberal - yang dikuti dengan Sekularisme dan Pluralisme - di media sosial sudah cukup mengkhawatirkan. Pasalnya, di era keterbukaan informasi saat ini, ilmu-ilmu keislaman mudah sekali terwarnai dengan bias-bias pemikiran Barat yang keliru. Hal itu mengakibatkan kekacauan ilmu, yang berujung pada hilangnya adab dan kebanggan meletakkan Islam sebagai asas berpikir dan bersikap. 

Athifa, presenter ketiga, melihat problematika ummat itu dari sisi yang berbeda. Makalahnya yang berjudul, "Novel Dilan dalam Pertimbangan Adab", berhasil melontarkan persepektif unik, terkait kontrasnya tujuan pendidikan nasional dengan nilai-nilai kurang beradab yang ditampilkan dalam karya sastra seperti Novel Dilan. 

Mungkin sekilas ini adalah hal remeh, namun bagi Athifa, fakta bahwa sosok Dilan telah menjadi teladan kaula muda (melalui novel dan filmnya), dan bahkan diangkat sebagai simbol wisata kota Bandung merupakan hal yang berlebihan. Untuk itu, kita perlu mengangkat karya sastra Islami sebagai alternatif demi melawan karya-karya sekular. 

Presenter keempat, Raihan, juga menampilkan presentasi yang tidak kalah menarik. Personil team Hadrah Pesantren Attaqwa ini, menyampaikan topik tentang tafsir ayat-ayat adab Syaikh Nawawi al-Bantani. Kitab yang ditinjau oleh Raihan, adalah Tafsir al-Munir, yang diakui para Mufassir sebagai tafsir Ulama Melayu pertama yang ditulis dengan bahasa Arab. 

Fokus kajian ini adalah ayat-ayat adab dalam surah Luqman. Raihan mengungkapkan, bahwa Syaikh Nawawi al-Bantani telah menguraikan konsep adab menuntut ilmu dengan sangat jelas dan aplikatif untuk diterapkan sebagai filosofi pendidikan Islam, di antaranya: mengamalkan ilmu dengan hikmah, bersikap muraqabah (merasa diawasi oleh Allah), berbakti pada orang tua, dan menghindari kesyirikan (termasuk kesyirikan intelektual). 

Ustadz Dr. Muhammad Ardiansyah - Mudir Pesantren Attaqwa Depok - dalam komentarnya di akhir kegiatan, mengaku sangat mengapresiasi kerja intelektual yang dilakukan oleh keempat santri ini. Di usia yang masih belia, mereka berani menyelami dinamika intelektual ummat, dan mampu menghadirkan solusi yang segar dan otentik. Beliau juga memberikan semangat kepada para cendikiawan muda ini untuk senantiasa menjaga adab dan mengembangkan kualitas keilmuwan untuk ummat. ***


(Penulis adalah mahasiswa kelas jurnalis STID M Natsir, Jakarta)