Penulis: Rice Ramayanti |
Cerita pendek (cerpen) ini menceritakan kisah seorang anak perempuan berusia empat tahun yang harus menghadapi kerasnya kehidupan dan menjadi korban keretakan rumah tangga (brokren home). Keadaan ini membuat ia tumbuh dalam dinamika kerasnya kehidupan. Kekecewaan selalu terlihat dari matanya yang berbinar-binar seakan berbicara, “Mengapa aku dilahirkan, dan mengapa aku di tinggalkan.” Simak kisahnya dalam cerita pendek berikut ini.
![]() |
Ilustrasi: Pixabay.com |
o0o
Suara tangisan masih terdengar di keheningan malam. Isak itu menggambarkan kekecewaan yang dalam. Dari kejauhan, tampak seorang anak perempuan menangis tersedu-sedu, ditemani gelap malam yang menyelimuti seisi ruangan.
Di bawah derasnya hujan yang membasahi bumi, seorang gadis duduk diam, menanti seseorang yang dijanjikan akan menjemputnya. Dia adalah Sahila Putri Maria, gadis kecil yang pernah menangis dalam kegelapan malam itu. Kini ia telah beranjak dewasa, berusia 20 tahun, tinggal di sebuah desa kecil di perkampungan Mangku Negara, Kecamatan Penukal, Kabupaten PALI, Sumatra Selatan.
Teman-temannya biasa memanggilnya "Sahila Tomboy" karena sifatnya yang ceria, lucu, dan sedikit nyentrik. Namun, di balik tawa yang sering ia bagi, tak banyak yang tahu bahwa Sahila menyimpan luka dan duka mendalam. Setiap kali kesendirian menghampiri, ia tak kuasa menahan air mata—terkenang masa kecil yang penuh kepedihan akibat rumah tangga orang tuanya yang porak-poranda.
Kenangan 16 Tahun yang Lalu
“Ibu... jangan tinggalkan aku…” isak Sahila kecil sambil menarik-narik baju sang ibu.
“Maafkan Ibu, Nak. Ibu sangat menyayangi kalian...” jawab sang ibu sambil menangis.
Enam belas tahun lalu, seorang anak kecil bernama Sahila berlari mengejar ibunya yang hendak pergi meninggalkan rumah. Ia memeluk tangan ibunya erat-erat, menangis tanpa suara. Sang ibu, dengan mata yang basah, berusaha menjelaskan:
“Ibu nggak bisa bertahan lagi, Nak. Bapakmu tak pernah menghargai Ibu, bahkan menganggap Ibu tak ada. Ibu sudah mencoba bertahan demi kalian, tapi sekarang Ibu benar-benar tak sanggup lagi. Bapakmu telah men-talak Ibu secara halus. Kata-kata terakhirnya menghancurkan hati Ibu: ‘Mulai sekarang kamu bukan tanggung jawabku.’"
Sang ibu meneruskan kata-katanya, "Ibu sudah bersabar ketika bapakmu menikah lagi tanpa izin Ibu. Sepuluh tahun Ibu bertahan, tapi ketika hadir seorang wanita yang merebut perhatian bapakmu, rumah tangga kami perlahan hancur. Ibu bahkan ikhlas dipoligami, Ibu bertahan dengan semua ketidakadilan, tapi kali ini Ibu harus memilih—demi diri Ibu sendiri.”
Sang ibu hanya mampu membawa adik Sahila yang masih berusia satu tahun. “Ibu tidak mampu membiayai sekolah kalian. Tapi Ibu berharap, kalian bisa tumbuh besar dan sekolah seperti anak-anak lainnya.”
Langkah sang ibu menghilang dalam gelap, namun hatinya masih berbisik: "Suatu hari nanti, anak-anakku akan mampu menghadapi kerasnya dunia ini sendiri."
Tumbuh Dalam Luka
Tahun demi tahun berlalu. Sahila yang dahulu menangis dalam malam kelam, kini tumbuh menjadi gadis pemberani dan mandiri. Tapi luka itu belum benar-benar sembuh. Ia hidup bersama ibu tiri yang tidak menyukainya, yang sering menyakitinya dengan kata-kata kasar dan perlakuan tidak adil.
Suatu pagi, ketika Sahila terlambat bangun, terdengar teriakan dari arah dapur.
“Sahila! Bangun! Banyak piring kotor nih!” teriak ibu tirinya.
“Iya, Bu. Sahila kurang enak badan...” sahut Sahila pelan.
Tak lama kemudian, ibu tirinya masuk ke kamar.
“Bangun! Udah siang!”
“Iya, Bu...” jawab Sahila lemah.
Ia memaksakan diri bangkit agar tidak dimarahi. Di dapur, ibu tirinya kembali berteriak.
“Sahila, cuci piring ini di sungai! Gak ada yang bersih buat dipakai!”
“Iya, Bu...” sahut Sahila, mencoba menahan air mata.
Persahabatan yang Menguatkan
Di pondok pesantren, Sahila mencurahkan isi hatinya pada sahabatnya, Kartini. Mereka sama-sama memiliki luka. Ibu Kartini meninggal saat mereka masih mondok, dan ayah Kartini pun menikah lagi.
“Tini, ibu tiriku punya anak perempuan bernama Dewi. Dia selalu dimanjakan, gak pernah disuruh kerja, gak pernah dimarahi. Tapi aku? Sedikit salah langsung dimaki, dihina…” kata Sahila sambil meneteskan air mata.
“Aku juga, Sahila. Ibu tiriku gak pernah mau urus aku dan adikku. Waktu kami pulang dari pondok, dia malah pergi ke rumah saudaranya karena gak mau merawat kami,” balas Kartini sambil memeluk Sahila.
“Kita sama, Tini. Kita sama-sama merasakan luka yang dalam ini…” bisik Sahila sambil menangis.
Secercah Harapan
Suatu hari, Sahila menerima 16 panggilan tak terjawab dari Suraya, sahabat lamanya. Ia segera menelepon balik.
“Assalamu’alaikum, Sahila. Kamu gimana? Aku cuma mau kasih info. Di Jakarta ada kuliah berbasis agama. Dengar-dengar, full beasiswa selama empat tahun. Syaratnya hafal lima juz Al-Qur’an,” ujar Suraya dengan semangat.
“Serius? Ada beasiswa?” sahut Sahila antusias.
“Iya! Kuliahnya berbasis asrama. Kamu kan anak pondok, pasti cocok!”
“Wah, makasih ya, Sur. Nanti aku omongin sama Bapakku.”
Perjuangan dan Doa
Keesokan harinya, Sahila menunjukkan brosur kampus ke bapaknya.
“Pak, gimana kalau aku daftar kuliah di Jakarta? Uang pendaftaran cuma tiga ratus ribu. Kalau lulus, daftar ulang tiga juta aja, habis itu gratis!”
Dari dapur terdengar suara sinis ibu tirinya, “Setinggi-tinggi sekolah, kerjaannya tetap di dapur juga!”
Ucapan itu hampir mematahkan semangat Sahila. Tapi ia tak menyerah. Ia tetap mendaftar tanpa persetujuan ibu tirinya.
Pada 22 Juni 2020, Sahila menanti pengumuman secara online. Detik-detik yang menegangkan berlalu. Dan akhirnya...
"LULUS."
“Alhamdulillah... Engkau dengar doaku, Ya Allah,” ucap Sahila penuh haru.
Ia berlari ke kamar bapaknya.
“Pak! Aku lulus kuliah di Jakarta!” katanya sambil memeluk sang ayah.
“Alhamdulillah, Nak. Semoga ada rezeki buat daftar ulang,” jawab sang ayah lembut.
Beberapa hari kemudian, sang ayah datang dengan kabar baik.
“Bapak sudah pinjam uang ke pamanmu. Insya Allah, cukup buat kamu berangkat.”
“Alhamdulillah… Makasih ya, Pak,” jawab Sahila dengan mata berbinar.
Akhirnya, Sahila menapaki jalan hidup barunya—dengan luka yang telah menguatkannya, dan doa yang menjadi sayapnya. ***
(Penulis adalah mahasiswi STID M Natsir, Jakarta)