Jumat, 30 Mei 2025

Oase di Tengah Gurun

Penulis: Atin Supriatin |

Saat itu, aku adalah seorang yang penuh energi dan semangat, seperti matahari yang bersinar cerah di pagi hari. Aku memiliki banyak teman, dan kami selalu bersama-sama, seperti sekelompok burung yang terbang bersama-sama di langit biru. Tapi, tiba-tiba, kehidupanku berubah drastis. Aku terkena sakit paru-paru yang menyerang secara tiba-tiba, seperti badai yang datang tanpa peringatan (Qadarullah).
Foto ilustrasi: pixabay.com

Aku harus terhenti kuliah selama beberapa semester, dan itu membuat aku kehilangan banyak teman. Aku merasa seperti kehilangan bagian dari diriku sendiri, seperti kehilangan sayap yang membuat aku tak bisa terbang. Seiring berjalannya waktu, pada akhirnya aku bisa kembali kuliah. Aku merasa seperti harus memulai dari awal lagi. Aku harus mencari teman-teman baru, dan itu rasanya tidak mudah.

Tapi, aku tidak menyerah. Aku berusaha untuk menjadi lebih kuat, lebih sabar, dan lebih percaya diri. Aku seperti seorang penjelajah yang tersesat di hutan yang lebat, tapi aku tidak takut. Aku tahu bahwa aku akan menemukan jalan keluar, dan aku akan menemukan teman-teman baru yang akan menjadi bagian dari hidupku.

Saat masuk ke kelas baru, aku merasa seperti berada di dunia yang asing. Wajah-wajah baru mengelilingiku, dan aku merasa tidak memiliki teman lagi. Tapi, saat itu juga teman teman sekelas menyambutku dengan hangat dan meriah. Mereka serentak berkata, "Selamat datang di kelas baru" dengan suara riang dan gembira. 

Itu membuatku merasa sedikit lebih nyaman. Dan, ada satu orang yang memperhatikanku dari kejauhan. Dia melihat  dengan mata yang penuh perhatian, dan aku bisa merasakan kepeduliannya.

Lalu, dia mendekatiku dan bertanya dengan lembut, "Kamu kenapa?" Dengan suara yang lembut dan penuh perhatian membuatku merasa seperti menemukan oase di tengah gurun. Aku merasa seperti bisa bernapas lega, karena ada seseorang yang mau mendengarkanku.

Dia menenangkanku, mendengarkan keluh-kesahku, dan memberikan motivasi di sela-sela kesedihanku. Dia menjadi sahabatku yang setia, yang selalu menemani, memotivasi, dan membantuku dalam setiap langkah perjalanan ini. Dia tidak pernah bosan mendengarkan keluh kesahku, tidak pernah lelah membantuku. Dia juga menjadi sumber kekuatanku, sumber inspirasi.

Seiring waktu, aku merasa bahwa dia bukan hanya sahabat, tapi juga seperti keluarga bagiku. Dia menjadi tempat  berbagi cerita, berbagi perasaan sedih dan duka, serta berbagi impian. Dia menjadi orang yang paling aku percaya, yang paling peduli kepadaku. Aku merasa bahwa aku bisa menjadi diriku sendiri di depannya, tanpa perlu takut dihakimi atau disalah pahami.

Dan yang paling penting, dalam persahabatan kami, tidak ada yang namanya perhitungan. Kami tidak pernah memikirkan tentang apa yang aku dapat atau apa yang dia dapat. Kami hanya menikmati kebersamaan dan itu sudah cukup bagi kami. Uang bukanlah prioritas utama dalam persahabatan kami. Yang penting bagi kami adalah kebersamaan, dukungan, dan kepercayaan.

Sampai sekarang, aku masih merasa sangat beruntung memiliki sahabat seperti dia. Dia telah menjadi bagian penting dalam hidupku. Aku berharap persahabatan kami akan terus berlanjut dan selalu mengingatkan dalam kebaikan. ***

(Penulis adalah mahasiswi STID M Natsir, Jakarta)