Rabu, 06 Agustus 2025

Kepemimpinan Profetik: Amanah dan Visi dalam Bingkai Islam

Penulis: Dr. Muhammad Shaleh Utsman S.S, M.I.Kom |

Dalam Islam, kepemimpinan bukanlah sekadar jabatan, melainkan amanah besar yang diemban dengan tanggung jawab moral dan spiritual. Narasi ini dapat dikembangkan lebih dalam dengan bingkai komunikasi profetik, yaitu gaya komunikasi yang meneladani Rasulullah SAW. 


Komunikasi profetik menempatkan kepemimpinan sebagai sarana untuk mendidik, menginspirasi, dan membawa perubahan positif, dengan mengutamakan tiga pilar utama: keteladanan (uswah), kejelasan (tabsyir), dan kebijaksanaan (hikmah).

Melihat Potensi dengan Mata Hati

Seorang pemimpin sejati adalah visioner, yang dalam Islam disebut ulul albab (orang yang berakal dan berpandangan jauh). Mereka tidak hanya melihat potensi fisik, tetapi juga potensi spiritual (fitrah) yang ada pada setiap individu. 

Rasulullah SAW adalah teladan terbaik dalam hal ini. Beliau mampu melihat Abu Bakar sebagai sahabat yang setia dan jujur, Umar bin Khattab sebagai pemimpin yang adil dan tegas, dan Khalid bin Walid sebagai panglima perang yang tak terkalahkan. 

Beliau tidak pernah memandang remeh seseorang, bahkan orang yang dulunya menentang Islam, karena beliau meyakini setiap hati punya potensi untuk beriman.

Pemimpin dengan visi profetik akan selalu memandang positif dan memberikan husnuzan kepada orang lain. Sikap ini selaras dengan firman Allah SWT, "Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa..." (QS. Al-Hujurat: 12)

Pandangan positif ini tidak hanya mencegah dosa prasangka, tetapi juga membuka ruang untuk kepercayaan dan kolaborasi. Dengan pandangan ini, pemimpin dapat melihat tantangan sebagai ladang amal dan peluang untuk meningkatkan kualitas diri, bukan sebagai penghalang.

Memetakan Tantangan dan Peluang

Kepemimpinan profetik tidak hanya mengandalkan intuisi, tetapi juga analisis mendalam yang didasarkan pada ilmu dan hikmah. Rasulullah SAW selalu melibatkan para sahabatnya dalam musyawarah (syura) untuk memetakan tantangan dan peluang, seperti saat Perang Khandaq. Ide Salman Al-Farisi untuk menggali parit adalah hasil dari proses analisis dan musyawarah yang matang.

Pemimpin harus mampu merancang strategi yang efektif dan adaptif. Hal ini sejalan dengan hadits Rasulullah SAW, "Seorang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada mukmin yang lemah, dan pada keduanya ada kebaikan. Bersemangatlah terhadap apa yang bermanfaat bagimu, mohonlah pertolongan kepada Allah, dan janganlah merasa lemah." (Riwayat Muslim)
 
Hadits ini mendorong pemimpin untuk bersikap proaktif, bersemangat, dan tidak mudah menyerah. Analisis yang kuat dan strategi yang matang adalah wujud dari sikap bersemangat terhadap apa yang bermanfaat dan tidak merasa lemah.

Bimbingan Ilahi

Puncak dari kepemimpinan profetik adalah kesadaran bahwa segala kekuatan dan keberhasilan datang dari bimbingan dan ridha Allah SWT. Kepemimpinan yang sejati adalah kepemimpinan yang berlandaskan tauhid. Tanpa bimbingan Allah, setiap rencana dan strategi hanyalah sebuah upaya yang rapuh.

Seorang pemimpin yang meneladani Rasulullah SAW akan senantiasa menguatkan sisi spiritualnya melalui doa, dzikir, dan tawakal. Ia memahami bahwa kekuasaannya adalah pinjaman dari Allah, dan pertanggungjawabannya bukan hanya kepada manusia, melainkan juga kepada-Nya. Sikap ini menciptakan pemimpin yang rendah hati, adil, dan amanah.

Allah SWT berfirman, "Dan apa saja musibah yang menimpa kamu, maka disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)." (QS. Asy-Syura: 30)
 
Ayat ini mengingatkan bahwa setiap kegagalan atau tantangan adalah cerminan dari usaha manusia, sementara keberhasilan adalah karunia Ilahi. Oleh karena itu, pemimpin sejati akan selalu berserah diri dan memohon petunjuk kepada-Nya, karena kekuatan spiritual inilah yang akan menjadi kompas dalam setiap langkah dan keputusan.

Kepemimpinan profetik adalah model kepemimpinan paripurna yang menggabungkan kecerdasan emosional, analitis, dan spiritual. Seorang pemimpin profetik tidak hanya melihat potensi pada setiap individu dengan pandangan positif (husnuzan), tetapi juga mampu merumuskan strategi yang matang melalui musyawarah (syura) dan analisis. 

Semua upaya ini dibangun di atas landasan spiritual yang kokoh, yaitu kesadaran penuh akan bimbingan Allah SWT. Dengan demikian, kepemimpinan yang dijalankan bukan sekadar upaya manusia, melainkan ibadah yang bertujuan membawa kemaslahatan bagi umat, dunia, dan akhirat. ***

(Penulis adalah Ketua Departemen Perkaderan DPP Hidayatullah)