Minggu, 19 Oktober 2025

Warisan Ust Abdullah Said dan Tantangan Rejuvinasi Hidayatullah

Penulis: Abdul Aziz Qahhar M.

Pada Grand Design Hidayatullah yang dibuat pada 2023, dinyatakan bahwa dalam rentang waktu sepuluh tahun kedepan merupakan masa transisi yang sangat penting dan starategis, bahkan “kritis” bagi Hidayatulllah. Pandangan ini dibangun dengan asumsi  para kader yang dididik langsung oleh pendiri Hidayatullah, Ust. Abdullah Said (UAS) akan berakhir perannya dalam durasi waktu ini: karena wafat, udzur syar’i, atau karena kurang mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman.


Dalam kaitan ini, sebagai seorang kader yang masih dididik lanngsung oleh UAS, melalui tuliisan ini penulis ingin menyampaikan kesaksian dan pandangan tentang Hiidayatullah, terutama terkait warisan (legacy) UAS dan dinamika pemikiran dan kelembagaan sepeninggal beliau. 

Alkisah, UAS meninggalkan Sulawesi menuju Balikpapan setelah memimpin penggajangan judi Lotto di Makassar pada 1969.  Menetap  dan mulai  berdakwah  di Baliikpapan, UAS merasa perlu menambah ilmu untuk bekal dakwah yang lebih baik. Ketika itu pengajian dan kajian-kajian Islam sudah mulai rutin di lakukan UAS di Balikpapan. Dengan berat hati UAS  pamit meninggalkan Balikpapan menuju Jakarta untuk selanjutnya akan belajar ke Timur Tengah. Melalui DDII (Dewan Dakwah Islam Indonesia) UAS  dinyatakan diterima untuk belajar di Kuwait.   Ia lalu mengurus berbagai kelengkapan surat administrasi untuk keberangkatan. 

Tapi rencana itu tiba-tiba batal karena  UAS mengalami pergolakan batin setelah  bertemu dengan seorang sepuh di Masjid DDII Jakarta. Sepotong kalimat yang menggoncangkan  keluar dari lisan orang tua, yang  ternyata tak pernah dia kenal identitasnya hingga akhir hayat.  Orang tua itu bertanya, “Apakah al-Qur’an yang  dipelajari di Kuwait berbeda dengan al-Qur’an yang ada di Indonesia?” UAS sangat tergugah  dengan kalimat tersebut. Beberapa hari ia merenungkannya dan kemudian memutuskan batal berangkat ke Kuwait. Ia memilih balik berdakwah ke Kaltim.

Sebelum ke Kaltim, UAS berangkat ke Yogyakarta. Ia ingin menemui sahabatnya dari Makassar, ust. Usman Palese,  yang sedang kuliah di Akademi Tarjih Muhammadiyah. Di Yogya ternyata UAS bertemu dengan beberapa orang mahasiswa Tarjih Muhammdiyah. Beliau  mengajak, berusaha meyakinkan mereka untuk berdakwah dan berjuang di Kaltim. 

Ada empat orang mahasiswa Tarjih yang akhirnya  siap berangkat ke Kaltim. Mereka adalah ust. Usman Palese, ust Hasyim, Ust. Hasan Ibrahim dan Ust. Nadzir. Bersama UAS, mereka inilah yang kemudian tercatat sebagai pendiri Hidayatullah, yang resmi berdiri pada 1973.

UAS adalah  penggagas,  pendiri, pemimpin dan tokoh sentral Hidayatullah hingga akhir hayat beliau. Karena itu untuk mengenal Hidayatullah maka  mutlak  harus memahami pemikiran UAS. Tulisan ini mencoba memahami dan  menjelaskan konsep atau “pemikiran Islam”  UAS terkait keberadaan Hidayatullah. 

Ada tiga “tajdid pemiikiran Islam”  UAS dalam mendirikan dan mengembangkan Hidayatullah:  Manhaj Sistimatika Wahyu, kemimpinan Imamah-Jama’ah dan Harokah Islamiyah. Selain itu ada pula  konsep dan praksis yaitu  Kampus Pesantren sebagai miniatur peradaban Islam. Keempat hal inilah yang merupakan warisan (legacy) konsep dan praksis dari UAS.


Sistematika Wahyu

Berdasarkan keterangan dari beberapa orang santri awal Hidayatullah, pada masa awal berdirinya pesantren  pada 1973, manhaj Sistemaika Wahyu (SW) belum dikenal. Inspirasi lahirnya SW sebagai manhaj  “ditemukan” UAS sekitar dua  tahun kemudian, terutama  setelah UAS  membaca kitab tafsir Sinar  karya Buya Abdul Malik Ahmad, mantan ketua PP Muhammadiyah. Kitab tafsir ini  diisusun berdasarkan urutan surah turunnya wahyu, dimulai dari Surah al-Alaq ayat 1 sd 5, dst .

Setelah menemukan manhaj SW, UAS semakin yakin dengan jalan perjuangan yang ia tempuh. Begitu yakinnya dengan manhaj SW,  UAS bahkan kemudian  membuat pernyataan “kalau bukan karena SW, Hidayatullah tidak perlu ada”. Menurut kesaksian para santri awal, sebelum menemukan manhaj SW, UAS sangat terpesona  mengkaji QS 62:2. “Dialah yang mengutus seorang rasul kepada kaum yang buta huruf dari kalangan mereka sendiri, yang membacakn kepada mereka ayat-ayat-Nya, menyucikan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah (Sunnah), meskiipun sebeluumnya mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata”.

Pada masa awal berdirinya pesantren, UAS sangat sering membahas dan menceramahkan ayat tersebut. Beliau sangat tertarik dengan sistematika istilah pada ayat ini. Bagi UAS ayat ini adalah  metode pendidikan, atau cara dan tahapan untuk berislam. Tahapan pada ayat ini adalah tilawah, taazkiyaah, ta’lim, dan hikmah. 

Yang paling beliau tekankan adalah penyebutan terma tazkiyah yang mendahului terma  ta’lim. Beliau kemudian menjadikan itu sebagai konsep atau metode pendidikan dan dibuatkan format praksis untuk “training perkaderan” bagi semua  santri dan kader  Hidayatullah. Ketika belakangan hari UAS menemukan SW sebagai manhaj, pembahasan tentang ayat ini, terutama terkait tazkiyah masih terus dilakukan, bahkan dianggap sangat relevan dengan manhaj SW, terutama Surah al-Alaq.

Manhaj SW pada intinya menegaskkan bahwa urutan turunnya wahyu al-Qur’an, demikian pula turunnya secara bertahap bukanlah  hal yang  kebetulan. Tapi hal itu merupakan “metode” dari Allah untuk mengajarkan dan mengamalkan al-Qur’an kepada Rasulullah dan sahabat. Jadi manhaj SW pada dasarnya menyatakan bahwa kebenaran al-Qur’an bukan hanya benar pada substansinya, tapi juga benar pada cara turunnya. Manhaj SW mengandung pelajaran yang menekankan bagaimana cara memahami, mengamalkan dan memperjuangkan Islam. 


Kepemimpinan Imamah-Jama’ah

Jatidiri kedua Hidayatullah adalah kepemimpinan yang oleh UAS disebut Imamah-Jama’ah. Maksudnya berjama’ah dan berimamah. Artinya Hidayatullah adalah suatu organisasi yang menganut konsep berjama’ah dan berkepemimpinan sesuai tuntunan al-Qur’an dan Sunnah.

Bagi UAS konsep dan penerapan hidup berjama’ah dan berkepemimpinan sangat erat kaitannya, atau bahkan tidak dapat dipisahkan dengan manhaj SW. Betapa tidak! Manhaj SW adalah manhaj yang pada dasarnya berusaha “menirukan” semua cara melaksanakan ajaran Islam pada masa Rasuulullah. Nah, salah satu konsep dan praktek ajaran Islam pada masa Rasulullah adalah menegakkan sistem kepemimpiinan. 

Secara lebih khusus UAS menyebutnya sebagai kepemimpinan dengan sistem komando. Struktur kepemimpinan sangat jelas dan tegas: taat kepada Allah, taat kepada Rasulullah dan kepada ulil amri atau pemimpin. Dalam pandangan  UAS model kepemimpinan ini tidak hanya diterapkan dalam kerangka konstitusional organisatoris, tapi juga dipraktekkan dalam kehidupan keseharian. Konsep sam’an wa tha’atan harus mewujud dalam  keseharian kehidupan berjama’ah.

Sebagai seorang pemimpin tunggal, dengan kharisma yang sangat kuat, kepemimpiinan imamah-jama’ah di tangan UAS sungguh merupakan kekuatan atau sumber energi yang sangat besar untuk eksis dan berkembangnya Hidayatullah. Para kader penuh semangat dan militansi,  “menjual diri atau lebur total” dalam perjuangan islam di Hidayatullah, selain karena dorongan kuatnya keyakinan pada ajaran Islam, juga karena pengaruh kuatnya kepemmpinan imamah—jama’ah dibawah kepemiimpinan UAS. Para kader sangat mudah diatur, dikomando, atau mutasi penugasan kemanapun dan kapan pun. Inilah yang menjadi kekuatan  sehingga jaringan lembaga dan pesantren Hidayatullah bisa eksis di seluruh Nusantara.


Harokah Islamiyah

Hal ketiga yang menjadi prinsip dan jatidiri Hidayatullah adalah sebagai lembaga perjuangan Islam (harokah Islamiyah).  Dengan melihat latar belakang pendidikan, orientasi dakwah  dan pengalaman organisasi UAS, dapat diduga  bahwa motivasi utama pendirian Hidayatullah adalah sebagai  lembaga perjuangan Islam. 

Setidaknya ada dua alasan yang menguatkan hal ini.  Pertama, UAS tumbuh sebagai aktifis gerakan Islam di PII (Pelajar Islam Indonesia) dan Pemuda Muhammadiyah yang ketika itu sangat kental perjuangan ideologi di bawah bayang-bayang perjuangan Partai Masyumi. 

Di usia remaja dan pemuda UAS hidup dalam suasana politik pertarungan ideologis yang sangat keras pada masa Orde Lama dan di awal Orde Baru. Sepak terjang UAS terakhir dengan memimpin pengganyangan judi Lotto di Makassar sebelum hijrah ke Balikpapan menunjukkan betapa besar gejolak perjuangan Islam pada diri beliau.

Kedua, Hidayatullah lahir dan eksis bukan  karena adanya dorongan  ajaran  “identitas keagamaan” tertentu. Hal itu berbeda dengan lembaga atau ormas Islam lain yang hadir karena  dorongan ajaran atau identiitas   yang diajarkan. Muhammadiyah lahir  dengan gerakan tajdid dan  pemurnian (furifikasi) ajaran agama yaitu anti tahayul, bid’ah dan churafat (TBC). 

Sebaliknya NU lahir untuk mempertahannkan dan melanggenngkan ajaran  Islam Tradisional. Adanya identitas ajaran juga mendasari lahir dan eksisnya berbagai lembaga atau ormas Islam yang lain seperti PERSIS, Al-Irsyad, Al-Wasliah, Al-Khairat, dsb., semua memiliki iidentitas ajaran.   

Sejak awal Hidayatullah tidak mengalamatkan atau menegaskan diri dengan identitas ajaran ataupun mazhab tertentu, sebagaimana lazimnya pendirian lembaga atau ormas Islam. Walaupun karena latar belakang UAS dan para  pendiri Hidayatullah lainnya  dari Muhammadiyah maka fiqih ibadah Hidayatullah sama atau  mirip dengan Muhammadiyah. Hal ini menunjukkan bahwa faktor utama yang mendorong lahirnya Hidayatullah sebagai lembaga atau ormas Islam bukanlah karena penegasan  identitas ajaran, tapi lebih menekankan kepada kepentingan perjuangan Islam (harokah Islamiyah).  

Perjuangan Islam (harokah Islamiyah) dalam hal ini meliputi tarbiyah, dakwah dan jihad. Tarbiyah dan taklim adalah syarat mutlak untuk berkembangnya pengetahuan dan  pemahaman ajaran Islam. Pada sisi lain, Islam adalah agama dakwah. Artinya, sebagai agama yang diturunkan untuk semua manusia (kaffatan linnas) dan rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil ‘alamin), maka  mutlak diilakukan gerakan dakwah. Sedangkan jihad atau bersungguh-sungguh dalam perjuangan Islam merupakan keniscayaan  untuk eksisnya  tarbiyah dan dakwah. Perpaduan ketiga pilar inilah yang  menjadi komitmen eksistensi Hidayatullah. 

Kehadiran Hidayatullah dengan wujud utama sebagai  pesantren menunjukkan betapa besarnya komitmen terhadap  pendidikan atau tarbiyah untuk ummat.  Namun demikian  karena Hidayatullah lahir bukan  hanya untuk gerakan  tarbiah tapi juga untuk dakwah, maka mendirikan dan mengembangkan pesantren tidak hanya fokus di tempat tertentu, melainkan dikembangkan di seluruh wilayah Nusantara. Pengiriman kader da’i militan untuk mendirikan dan mengasuh pesantren, serta  mengembangan dawah  di berbagai pelosok negeri  merupakan suatu ciri yang sangat menonjol dari Hidayatullah.

Miilitansi ini tumbuh karena sejak awal berdirinya Hidayatullah, UAS mendeklarasikan telah   “menjual diri” di jalan Allah. Beliau mengambil  spirit dari ayat al-Qur’an, “Sesungguhnya Allah membeli dari orang-orang mukmin, baik diri maupun harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka” (QS 9:111). Hal itu beliau tunjukkan dengan “lebur total” dalam perjuangan Islam, dimana seluruh waktu, harta dan jiwa telah ia wakafkan di jalan Allah. Sikap demikian  kemudian juga diikutii  oleh semua kader  Hidayatullah didikan UAS.


Kampus Pesantren

Selain ketiga warisan pemkiran diatas, ada juga warisan UAS yang merupakan praksis. Salah satu hal mendasar dalam pemikiran UAS bahwa ajaran Islam yang meliputi iman, ilmu dan amal harus benar-benar terintegrasi. Berislam  tidak boleh hanya sibuk dengan  ilmu tanpa pengamalan. Jangan sampai Islam hanya menjadi wacana dan kenikmatan intelektual. Atau hanya diceramahkan tanpa peragaan. 

Karena itu ketiga konsep pemikiran Islam UAS (SW, imamah-jama’ah dan harokah Islamiyah) harus diperagakan dalam kehidupan keseharian. Wadah untuk memperagakan adalah kampus pesantren.

Kampus pesantren merupakan miniatur peradabban Islam. Keberadaan kampus tidak hanya dimaksudkan untuk menyelengggarakan  pendidikan Islam. Lebih dari itu, kampus harus memperagakan ajaran Islam dalam segala aspek kehidupan seoptimal mungkin. Oleh karenanya,  warga kampus bukan hanya terdiri dari santri dan pengasuh atau guru,  tapi juga  disertai  warga rumah tangga. Untuk dapat terasa sebagai suatu peradaban, kampus harus mewujud sebagai suatu entitas masyarakat.

Itu sebabnya di masa lalu kampus Hidayatullah kadang disebut ”darul hijrah”. Bergabung ke Hidayatullah disebut hijrah. Tapi definisi tentang  kampus tidak tunggal. Terkadang juga disebut markaz dakwah. Biasa juga disebut markaz perkaderan.


Warisan Kader 

Selain keempat warisan UAS diatas, sebenarnya ada  satu “warisan” lagi  yang sangat penting: kader. Selain sebagai warisan, kader ini sejatinya adalah pewaris.  UAS meninggal tanpa mewariskan suatu konsep pemikiran tertulis secara utuh. Tentang manhaj SW misalnya.  Satu—satunya warisan pemikiran  tentang manhaj SW yang utuh menjelaskan dari al-alaq sampai al-Fatihah  secara tertulis adalah transkrip dari ceramah UAS pada acara Training Muballigh yang diselenggarakan di PT Antam, Pomala, Kolaka.  Namun demikian selain tulisan tersebut  ada banyak tulisan beliau dalam bentuk “serpihan pemikiran” tentang SW dengan tema tertentu.

Demiikian pula dengan konsep kepemimpinan imamah-jama’ah. Tema ini cukuup sering ditulis oleh UAS di Majalah Suara Hidayatullah. Selama puluhan tahun UAS adalah penulis tetap pada rubrik Kajian Utama, sajian paling favorit majalah Sahid. Tapi nuansa dari tulisan-tulisan itu lebih menekankan kepada pengamalan dan pengalaman dibandingkan dengan pemikiran teoritis dalam kerangka keilmuan. Tidak ada tulisan secara utuh dan sistematis tentang konsep kepemimpinan Imamah-Jama’ah.

Begitu pula tentang harokah Islamiyah. Seperti halnya  dengan kedua jatidiri diatas, tidak ada warisan tertulis yang menggambarkan secara memadai bagaimana road map dan blue print perjuangan Hidayatullah sebagai harokah Islamiyah. Bahkan dapat dikatakan, dibandingkan dengan dua jatidiri yang lain, tulisan UAS tentang konsep  harokah Islamiiyah jauh lebih minim.

Tetapi suatu hal yang sangat menguntungkan bahwa dalam jangka waktu yang cukup lama, dari masa berdiri Hidayatulllah pada 1973 sampai UAS meninggal pada 1998, UAS sangat banyak berceramah di depan para kadernya. Dan seperti sudah disinggung sebelumnya, penekanan UAS dalam menghadirkan Hidayatullah bukan pada kekayaan liteterasi keilmuwan, tapi pada pemahaman dan pengamalan atau peragaan.  

Khazanah keilmuan dari ceramah UAS yang demikian banyak terkait jatidiri  yang sering diceramahkan secara berulang, pada dasarnya telah menjadi “kekayaan intelektual” bagi kader. Hal ini terutama karena ada hubungan timbal  balik yang sangat kuat antara kerangka dann landasan keilmuan yang disampaikan dan pengalaman lapangan. 

Inilah yang menjadi proses pencerahan bagi kader. Artinya, ketercerahhan  kader karena mereka ikut menjadi pelaku dari konsep yang  sering disampaikan tersebut. Mereka mengalami dan merasakan kesesuaian atupun integrasi antara ilmu atau teori dan pengamalan lapangan. Walaupun harus diiakui bahwa mayoritas kader lebih fasih memperagakan jatidiri dibandingkan menarasikan secara intelektual. 

Dengan modal warisan kader yang tercerahkan, maka ketika UAS meninggal dunia, suksesi kepepimpinan berlangsung dengan baik tanpa  gejolak. Kepemimpinan kemudian berjalan dengan baik dan perkembangan Hidayatullah semakin pesat. Sebelumnya  ada  pihak dengan nada pesimis menyatakan bahwa Hidayatullah akan berakhir seiring meninggalnya UAS. Ini dengan asumsi tidak nampak kader  yang memiliki kharisma dan potensi kepemimpinan yang dapat melanjutkan model kepemimpinan tunggal atau “one man show” seperti dilakonkan UAS.

Sebagai seorang kader yang tercerahkan, ketika Ustadz Abdurrahaman Muhmmad (UAM) terpilih sebagai pemimpin Hidayatullah menggantiikan UAS, beliau memperkenalkan dan kemudian “mendeklarasiikan” model Kepemimpinan Syura. 

UAM berkali-kali menjelaskan bahwa “saya tidak bisa dan juga tidak mau melanjutkan atau menjalankan model kepemimpinan tunggal seperti dijalankan UAS”. Pada masa kepemimpinan UAS sebenarnya  sistem syura tetap jalan, hanya saja tidak dilembagakan secara permanen. Tradisi musyawarah dijalankan sesuai konteks masalah yang berkembang. Jadi siapa yang akan ikut sebagai peserta musyawarah, tergantung siapa yang terkait atau berwewenang dengan masalah yang ada.

Sejak awal kepemimpinannya, UAM melembagakan sistem syura dan juga melakukan “pembagian kekuasaan” kepada berbagai lembaga. UAM sebagai Pemimpin Umum, kemudian ada Dewan Syura, Majelis Syariah dan Dewan Eksekutif sebagai pimpinan pelaksana. 

Dalam realitasnya, Dewan Eksekutif yang berkedudukan di Jakarta juga berfungsi sebagai “think tank” lembaga. Dewan Eksekutif  aktif melakukan kajian dan “brainstorming” terhadap semua persoalan kelembagaan. Kajian-kajian yang sudah “setengah matang” disampaikan dan didiskusikan lebih lanjut dengan Pemimpin Umum. Selanjutnya dibawa ke forum Dewan Syura untuk dilakukan pengambilan keputusan.

Berbagai kebijakan perubahan besar dilakukan pada tahun 2000, ketika kepemimpinan UAM baru berjalan dua tahun. Perubahan paling fundamental adalah format kelembagaan dari Orsos ke Ormas. Menyertai perubahan ini adalah perubahan sistem sosial ekonomi dan penegasan defenisi kader. 

Sebelum menjadi ormas, sistem ma’isya kader adalah dengan  natura. Setelah menjadi  Ormas sistem ma’isya dilakukan  dengan penggajian. Perbedaan dari keduanya adalah pada istilah natura, upah diberikan berdasarkan kebutuhan pokok setiap kader atau warga, tanpa memperhatikan jabatan dan profesi yang diemban. Sementara itu, dengan sistem gaji, seseorang diberikan upah sesuai dengan jabatan dan profesinya, bukan dengan melihat kebutuhan hidupnya.  

Pada masa Orsos kader hanya diberikan natura sesuai kebutuhan pokok setiap rumah tangga. Semua kebutuhan lainnya seperti biaya pendidikan, kesehatan dan lainnya, ditanggung oleh lembaga. Dengan sistem penggajian di era Ormas, hal-hal seperti itu menjadi tanggung jawab pribadi, tidak lagi menjadi  tanggungan lembaga.

Dalam pada itu juga dilakukan perubahan atau penegasan definisi kader. Pada masa Orsos, yang dimaksud sebagai kader “seolah-olah” hanya mereka yang tinggal di kampus pesantren dan bekerja dalam lingkup tugas kepesantrenan. Mereka yang tinggal diluar kampus dan bekerja di tempat lain dikesani bukan kader. Dikatakan “seolah-olah” disini karena pengertian kader dimasa itu sesungguhnya tidak juga persis seperti itu. Sebagai contoh, di Gn. Tembak ketika itu ada puluhan kader senior yang berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan  bekerja di berbagai istansi pemerintah.

Menyertai deklarasi Ormas, kader didefinisikan dengan tegas, bahwa kader adalah “orang yang tertarbiyah dalam sistem perkaderan  dan taat dalam sitem kepemimpinan Hidayatullah”. Dalam perkembangan selanjutnya, yang dimaksud sistem perkaderan  adalah ikut training marhalah dan aktif halaqoh kader.

Perkembagan lain sesuai tuntutan dinamika kelembagaan dan kondisi ekternal adalah perumusan konsep Jatidiri Hidayatullah secara tertulis. Hal ini sangat penting dan mendasar untuk memperjelas dan mempertegas  identiitas dan “alamat” Hidayatullah. Konsep pemikiran pada Jatidiri ini menjadi bahan utama materi  tarbiyah dan perkaderan Hidayatullah. Setelah melalui diskusi dan kajian panjang, dirumuskan enam Jaatidiri Hidayatullah: SW,  ahlussunnah wal jama’ah, Imamah-jama’ah, al-Harokah al-Jihadiyah al-Islamiyah, jama’atun minal Muuslimin, dan wasathiyah.

Tiga dari enam jatiiri merupakan “warisan langsung” dari UAS, sebagaimana telah disinggung diatas. Adapun tiga yang lainnya, merupakan “tambahan” di era kepemipimpinan UAM. Dikatakan sebagai “tambahan” karena pada dasarnya UAS tidak pernah menjadikan ketiga tema tersebut sebagai bahan utama kajian dan  wacana yang dibahas  secara serius. Hal itu berbeda dengan tiga jatidiri lainnya. Kalau demikian, lalu muncul pertanyaan  mengapa ketiga hal itu juga dijadikan jatidiri Hidayatullah?

Jawabnya, diyakini bahwa ketiga hal tersebut (Ahlussunnah wal jama’ah, Jama’atun minal Muslimin, dan Wasathiyah) sesungguhnya merupakan pemikiran keislaman yang dianut oleh UAS. Tapi UAS tidak menjadikan hal itu sebagai tema kajian dan pencerahan karena tidak ada konteksnya ketiika itu. Misalnya untuk Ahlussunnah wal Jama’ah. Pada masa itu tidak ada perdebatan dan klaim di tengah ummat Islam Indonesia tentang ahlussunnah wal jaama’ah  dan siapa saja penganutnya. 

Jamak dipahami bahwa sebelum muncul Syiah dan “kelompok Salafi”, hampir  semua umat Islam di Indonesia adalah penganut Ahlussunnah wal jama’ah. Perdebatan, penegasan dan klaim tentang penganut Ahlussunnah wal jama’ah baru muncul setelah berkembangnya aliran Syiah dan Salafi di Indonesia. Aqidah Syiah jelas berbeda atau bahkan bertentangan dengan aqidah Ahllussunnah. 

Demikian pula, hadirnya “kelompok Salafi” menyerang langsung aqidah dari kelompok Islam tradisional yang sejak lama paling mengklaim sebagai penganut Ahlussunnah wa jama’ah. Mereka adalah penganut aqidah Asy’ariyah dan Maturidiyah, dimana kedua mazhab aqidah itu dinyatakan sesat oleh kelompok Salafi. 

Akibat  serangan keras  ini, kelompok Islam Tradisional tidak tinggal diam. Mereka menyerang balik dengan menyatakan sebaliknya, aqidah Salafi-Wahabi sesat. Nah, ketika terjadi keributan, saling serang  dan saling klaim di tengah ummat tentang penganut Ahlussunah wal Jama’ah, maka Hidayatullah merasa perlu memposisikan diri dalam soal ini. Hidayatullah menegaskan sebagai penganut Ahlussunnah wal Jama’ah disertai narasinya dan penjelasannya. 

Demikian pula tentang jatidiri Jama’atun minal Muslimin. Dipahami bahwa UAS secara substantif menganut hal tersebut, walaupun jarang menyinggungnya. Hal yang sama juga untuk prinsip Wasathiyah. Dari berbagai pandangan dan pemikiran UAS jelas dapat dipahami sikap wasathiyah beliau dan Hiidayatullah dalam berbagai persoalan keislaman dan keummatan.

Dari sedikit penjelasan diatas, kiiranya dapat dipahami bagaimana dinamika pemikiran keislaman dan kelembagaan pasca kepemimpinan UAS. Dinamika pemikiran tersebut juga berpengaruh terhadap struktur organisasi. Itu sebabnya dari Munas pertama sampai Munas keenam yang segera berlangsung terus terjadi perubahan yang diperlukan. 

Perubahan-perubahan itu dlakukan dengan prinsip “memelihara yang lama yang baik dan mengambil yang baru yang lebih baik” (al-muhafadhatu ‘ala qadimissholih wal akhdzu bil jadidil ashlah). Semangat dari perubahan-perubahan tersebut senantiasa berpegang teguh  kepada kaidah mempertahankan hal bersifat prinsipil (tsawabit) dan melakukan perubahan pada hal-hal yang pada dasarnya bersifat fleksibel karena konteks situasi, waktu atau tempat (mutaghayyirat).

Penutup 

Itulah   lima warisan UAS. Dari lima warisan tersebut dapat disederhanakan menjadi dua hal mendasar: manhaj SW dan kader. Dalam manhaj SW pada dasarnya melekat konsep kepemimpinan imamah jama’ah dan harokah Islamiyah.  Dengan perkataan lain, tidak ada manhaj SW tanpa tegaknya kepemimpinan Imamah-Jama’ah dan harokah Islamiyah.

Selain eksis dengan manhaj SW dan kepemimppinannya, keberhasilan lain yang sangat penting dari UAS adalah melahirkan atau mencetak kader pelanjut perjuangan berbasis manhaj . Sepeninggal UAS Hidayatullah semakin berkembang, baik jangkauaan teritorial dan jaringan, maupun kuantitas kader. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah jika kader yang ditinggalkan UAS (yang ketika itu pada umumnya berusia kurang dari 50 tahun) sukses melanjutkan manhaj perjuangan, apakah generasi berikutnya telah siap memikul beban ini? Hanya waktu yang bisa menjawab. Tapi kita harus optimis. 

Pada dasarnya proses alih generasi dan rejuvinasi telah dan sedang berjalan. Sisa waktu dari peran generasi didikan UAS menjadi tantangan untuk menguatkan transformasi dan transmisi yang lebih kuat untuk rejuvinasi. Wallahul musta’an.