Penulis: Waode Rahmah Ainul Mardiah |
Ini bukan kisah bucin anak muda pada umumnya yang selalu mendamba akhir bahagia. Bukan pula cerita remaja kasmaran yang berujung pilu, atau tentang seorang perempuan yang ditinggalkan lalu tiba-tiba ada pujangga datang menawarkan hidup bersama. Bukan!
Ini adalah kisah ikhtiar sepasang muda-mudi muslim yang memahami agama dan berusaha sekuat tenaga menjauhi segala hal yang bisa menjerumuskan pada zina. Bahkan dalam hal kecil sekalipun—seperti bertegur sapa atau sekadar berkomentar di story media sosial—mereka memilih untuk diam.
Mereka sadar selalu ada kesempatan untuk berinteraksi, namun mereka lebih memilih jalan yang terjaga: berlomba-lomba berdoa kepada Pemilik hati, agar tetap dikuatkan sampai tiba waktunya mereka dipertemukan secara halal.
Pilihan itu tentu bukan tanpa alasan. Saat banyak teman sebaya menghabiskan masa kuliah dan kerja dengan pacaran, saling memamerkan pasangan yang berganti-ganti, mereka tetap teguh menjalani hidup sebagaimana yang Allah perintahkan.
Mereka tidak ingin diperbudak perasaan hingga berani melanggar hukum Allah. Mereka mengakui adanya rasa itu, karena itu adalah fitrah yang Allah tetapkan. Namun mereka belajar menyikapinya dengan wajar, dewasa, dan islami.
Dua insan ini berkomitmen untuk tidak meladeni perasaan dengan perbuatan yang keliru. Mereka tidak mau berangan-angan berlebihan, apalagi larut dalam hal yang sia-sia. Justru ketika ujian terasa makin berat, fitnah syahwat dan syubhat kian menghimpit, mereka semakin sibuk memperbaiki diri: memperbanyak ibadah, memanjangkan doa, memperdalam ilmu, merutinkan puasa sunnah, menjaga pola makan, mengurangi waktu di media sosial, menekuni buku, dan berolahraga.
Mereka sadar betul, perasaan itu adalah fitrah. Namun mereka tidak mau menodainya dengan yang haram. Mereka belajar bersikap sebaik-baiknya, sedewasa mungkin, seislami mungkin—sesuai tuntunan agama dan akhlak mulia. Mereka terus berkomitmen memperbaiki diri hingga tiba saatnya nanti, mereka siap mengemban amanah pernikahan, yang dalam Al-Qur’an disebut sebagai miitsaqan ghaliza (ikatan yang sangat kuat).
Mereka tidak ingin kelak menceritakan masa penantian ini kepada anak-anaknya dengan kisah cinta yang haram dan tidak mendidik. Mereka ingin bisa menasihati anak-anaknya agar menjauhi zina, bukan hanya dengan dalil, tetapi juga dengan teladan nyata: bahwa mereka pernah saling menjaga diri sampai tiba saat halal untuk bersatu.
Di zaman fitnah yang begitu berat ini, mereka menyadari betapa mahalnya nilai kesucian. Saat banyak orang meremehkan ibadah terbesar ini, saat banyak anak muda berlomba-lomba mengumbar dosa, mereka justru teguh berdiri di atas prinsip ath-thayyibaat lith-thayyibiin—yang baik untuk yang baik.
Memiliki perasaan bukanlah kesalahan. Yang membedakan adalah cara menyikapinya. Dan mereka berdua menjadi bukti nyata, bahwa cinta bisa tetap suci jika dijalani dengan cara yang Allah ridhai.
Semoga seluruh ikhtiar mereka bermuara pada satu tujuan: surga! ***
(Penulis adalah mahasiswi STID M Natsir, Jakarta)