Kamis, 17 Juni 2021

Menilik Istilah "Man is The Measure of All Things" Dalam Pandangan Islam

Penulis: Novi Indiana ---

Teman - teman ada yang sudah mengenal dengan istilah di atas? Ya. Istilah di atas merupakan sebuah pandangan yang dikemukakan oleh seorang filsuf bernama Protagoras. Pandangan tersebut kini menjadi polemik di tengah perbincangan Teori Barat Modern. 

Mengutip pendapat Gorgias seorang ilmuwan (485-380 SM), ia menyebutkan bahwa, "..nothing exists, & if something did exist, it could't be known, & if it could be known, it could't be communicated."

Yang menyatakan bahwa sebenarnya pengetahuan itu tidak ada, jika yang menilai segala sesuatu adalah manusia. Kalaupun ada, maka pengetahuan tidak bisa dipaksakan kepada orang lain. Karena hal tersebut bersifat relativisme. Demikian juga pernyataan Protagoras seorang filsuf Yunani mengenai, "Man is The Measure of All Things" menjadikan manusia sebagai ukuran segala sesuatu.

Dengan begitu, maka tidak ada lagi pengetahuan yang disepakati secara bersama. Semuanya hanya pandangan seseorang atau individu saja.

Namun, hal tersebut mendapat bantahan dalam Islam, karena ketika seseorang bertauhid, ia akan mengambil ukuran ataupun standar kebaikan bersandar pada nilai Ilahiah.

Sebab yang Maha Benar hanyalah Allah semata. Manusia tempatnya salah dan khilaf atau bahkan menyeleweng. Maka, dari itu agama dan keyakinan bertauhid tempat terbaik untuk bersandar.

Manusia bukanlah patokan kebenaran. Bahkan untuk melakukan kebaikan atau kebenaran sekecil apapun manusia perlu bimbingan Sang Pencipta untuk memastikan bahwa apa yang dilakukannya benar atau salah.

Salah satu cendekiawan muslim, Nurcholish Madjid yang mengungkapkan bahwa,

"Hanya Allah yang mutlak, dan selain Allah, meskipun mengandung kebenaran, adalah nisbi, dan kebenarannya pun nisbi. Bagaimana mungkin manusia yang nisbi mencapai sesuatu yang mutlak".

Hal ini menegaskan bahwa manusia tidak bisa mencapai kepastian akan kebenaran. Kebenaran tidak akan datang kepada manusia tanpa dasar dari Sang Maha Kuasa.

Pernyataan Protagoras di atas mengenai manusia adalah ukuran kebenaran, tentunya sangat bersinggungan dengan cara pandang Islam yang bersifat integral (tauhidi).

Dengan begitu, kajian tentang kebenaran menjadi dasar pandangan kedua peradaban yakni Islam dan Barat terhadap konsep Tuhan, konsep alam dan konsep manusia. Kebenaran konsep dalam keilmuan Islam akan mengungkap berbagai kerancuan pemahaman terhadap konsep kebenaran yang perlu dipertanyakan validitasnya.

Oleh karena itu, Syed Muhammad Al - Naquib Al-Attas menyatakan bahwa konsep ilmu dan kebenaran di Barat merupakan hasil dari kebingungan yang telah berhasil mengangkat keraguan (skeptisme) dan dugaan (spekulasi) ke tahap metodologi ilmiah bahkan menjadikannya sebagai alat yang sah dalam keilmuan.

Sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala dalam QS. Yunus ayat 36 yang berbunyi,

"Dan kebanyakan mereka hanya mengikuti dugaan. Sesungguhnya dugaan itu tidak sedikit pun berguna untuk melawan kebenaran. Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan."

Demikianlah, tak bisa kita pungkiri bahwa ilmu pengetahuan dan westerenisasi telah membawa kita pada suatu gaya hidup dan cara pandang yang skeptis terhadap suatu fenomena dan kebenaran. Sekalipun peradaban Barat Modern telah menghasilkan ilmu yang bermanfaat.

Namun, peradaban tersebut juga telah menyebabkan kesemrawutan dan kerusakan dalam kehidupan manusia.

Jangan latah teman,

Arahkan cara pandang kita menuju tauhid. Dalam buku al - Faruqi yang berjudul "Al-Tawhīd Its Implications for Thought and Life", menyatakan bahwa esensi Islam adalah Tauhid dan esensi Peradaban Islam adalah Islam.

Ini merupakan suatu afirmasi atau pengakuan bahwa Allah adalah Yang Maha Esa, Transenden, Pencipta yang Mutlak, dan Penguasa alam semesta.

Artinya tidak ada kebenaran yang mutlak kecuali Allah.

Wallahu A'lam Bishowab. ***


(Penulis adalah mahasiswa STID M Natsir)