Penulis: Rice Ramayanti |
Isu LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender) bukanlah hal yang asing lagi di tengah masyarakat Indonesia saat ini. Perdebatan mengenai perilaku seksual kelompok dengan orientasi yang berbeda dari norma-norma agama, khususnya ajaran Islam, terus menjadi perhatian publik.
Secara historis, perilaku homoseksual pernah dicatat dalam kisah Nabi Luth a.s. Kaumnya dikenal menyukai sesama jenis, yang akhirnya mendatangkan azab berupa hujan batu dari Allah Ta'ala sebagai bentuk hukuman atas penyimpangan mereka. Dalam konteks keagamaan, peristiwa tersebut sering dijadikan rujukan dalam menolak praktik LGBT.
Namun, pandangan ilmiah terhadap LGBT mengalami perubahan signifikan. Pada tahun 1975, American Psychological Association (APA) menyatakan bahwa homoseksualitas bukan lagi termasuk gangguan mental, melainkan merupakan bagian dari variasi normal orientasi seksual manusia. Seiring waktu, beberapa negara bahkan mulai mengakui dan melindungi hak-hak LGBT melalui perundang-undangan mereka.
Negara-negara yang memberikan perlindungan hukum terhadap LGBT umumnya berada di kawasan Eropa Barat, Amerika Utara, sebagian Amerika Latin, serta Oseania. Di sana, komunitas LGBT memperoleh pengakuan sosial yang cukup tinggi dan perlindungan hak asasi yang kuat.
Seiring berkembangnya waktu, istilah LGBT kini telah berkembang menjadi LGBTQIA+ atau LGBTQ+, yang mencakup spektrum identitas gender dan orientasi seksual yang lebih luas. Huruf “Q” dalam singkatan tersebut mengacu pada “Queer”, sebuah istilah yang digunakan untuk menggambarkan individu yang tidak masuk dalam kategori heteroseksual atau cisgender. Sementara itu, simbol “+” mewakili keberagaman identitas dan orientasi seksual lainnya yang tidak tercakup dalam singkatan utama.
Di Indonesia, kasus LGBT juga merebak tak kalah hebat. Pada hari Minggu, 22 Januari 2025, misalnya, pihak kepolisian melakukan penggerebekan terhadap sebuah acara bertajuk family gathering di kawasan Megamendung, Puncak, Bogor, Jawa Barat. Kegiatan tersebut ternyata digunakan sebagai kedok untuk pertemuan puluhan pria yang menjalin hubungan sesama jenis.
Menurut laporan yang dikutip dari artikel “4 Fakta Miris Pesta Gay di Puncak, Banyak Reaktif HIV-Sifilis” di laman detik.com, acara ini diselenggarakan secara tertutup dengan peserta yang direkrut melalui media sosial. Biaya pendaftaran dikenakan sebesar Rp. 200 ribu per orang. Usia peserta bervariasi, mulai dari 21 hingga 50 tahun. Acara diisi dengan pertunjukan tari, nyanyian, dan hiburan lainnya.
Kepolisian menjerat penyelenggara kegiatan tersebut dengan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi dan/atau Pasal 296 KUHP tentang perbuatan cabul. Hingga Kamis, 26 Juni 2025, penyelidikan masih berlangsung dan belum ada informasi pasti mengenai penetapan tersangka, namun polisi menegaskan komitmennya untuk menindak tegas pihak-pihak yang terlibat. ***
(Penulis adalah Mahasiswi STID M Natsir, Jakarta)