Penulis: Ahmadie Thaha (Cak AT) |
Setiap kali Presiden RI bersalaman dengan Raja atau Putra Mahkota Saudi Arabia, rakyat Tanah Air langsung bisa menebak dua kalimat pembukanya: "Yang Mulia. Bolehkah kami… minta tambahan kuota haji? Dan, ehm… soal perumahan jamaah, bagaimana kabarnya?”
Seakan-akan, Presiden Indonesia —dari Bung Karno sampai Pak Prabowo— telah mewarisi semacam kitab wasiat diplomatik yang berisi dua mantra sakral: “kuota haji” dan “pemondokan jamaah.” Itu saja yang diulang sejak Indonesia merdeka.
Kalau ada yang penasaran, “kenapa sih pembicaraannya selalu itu-itu aja?” jawabannya sederhana: karena belum pernah tuntas. Ibarat skripsi yang bab pendahuluannya ditulis ulang oleh lima generasi mahasiswa tapi tak pernah sampai sidang.
Presiden Soekarno mungkin lebih sibuk dengan geopolitik dunia ketiga ketimbang kamar mandi jamaah. Tapi bahkan di era beliau, urusan haji sudah jadi persoalan serius. Jamaah Indonesia datang lewat laut, transit di Jeddah, dan menginap di “Makzah”—semacam rusunawa musim haji dengan fasilitas tebak sendiri.
BACA JUGA: Inilah Kisah Raja Alexander dari makedonia
Lalu datang Pak Harto, yang haji lewat program percontohan. Gus Dur? Membuka pintu haji khusus. Megawati? Lebih banyak mengurusi haji politik di dalam negeri. SBY mengusulkan perbaikan manajemen. Jokowi menambah kuota sampai 221 ribu jemaah. Dan kini Prabowo, dengan gempita militernya, menjanjikan: Kampung Haji.
Iya, Anda tidak salah baca. Kampung Haji. Dalam kunjungan terakhir ke Arab Saudi, dia menyampaikan tekad mulia: Indonesia segera membentuk tim khusus untuk membangun Kampung Haji di Tanah Suci. Bukan kampung sembarangan, tapi kampung di mana seluruh jamaah Indonesia bisa ngumpul, ngopi, dan shalat berjamaah.
Tentu ide ini revolusioner. Tapi juga mengundang pertanyaan mendasar: kok baru sekarang?
Sebab, jika kita hitung sejak kemerdekaan hingga kini, sudah delapan presiden berganti. Dari proklamator, pendekar reformasi, sampai jenderal yang kuda naiknya ke mana-mana. Tapi masalah perumahan jamaah? Masih saja tergantung di langit Arab seperti doa tak kunjung turun hujan.
Masalahnya bukan niat, tapi lahan. Perluasan Masjidil Haram bahkan telah menyingkirkan banyak penginapan rakyat jelata. Daerah strategis berubah jadi hotel-hotel bintang sembilan yang tarifnya bisa bikin jamaah biasa puasa sebelum masuk Ramadhan. Pemerintah Saudi, tentu, lebih senang menjual ruang kepada investor kakap.
Lalu muncul sistem syarikah, semacam biro perjalanan versi kerajaan. Alih-alih mempermudah, syarikah malah membuat rombongan Indonesia tercerai-berai. Satu kloter bisa terdiri dari 10 lokasi berbeda. Seorang jamaah asal Tasikmalaya bahkan sehari bisa pindah tiga lokasi hanya demi mencari kasur.
Selain itu, soal antrean panjang. Indonesia punya waiting list alias daftar tunggu haji sampai 47 tahun di beberapa provinsi. Ini berarti: jika Anda daftar umur 25, insya Allah berangkat umur 72 —kalau masih ingat niat ihram. Karena itu, kuota menjadi hal sakral, bahkan lebih sakral dari piring pecah saat acara walimah.
Maka wajarlah jika setiap presiden merasa wajib membicarakan ihwal kouta. Seperti semacam sumpah jabatan tak tertulis: “Saya bersumpah akan memperjuangkan kuota dan memondokkan rakyat saya secara layak.”
Di atas kertas, rencana Kampung Haji terdengar seperti mimpi indah: satu kawasan khusus, lengkap dengan masjid, warung padang, puskesmas, dan satpam yang bisa bahasa Banjar. Tapi realisasinya? Indonesia harus mengurus lahan, perizinan lintas negara, pembiayaan, dan tentu —komitmen dari pihak Saudi.
BACA JUGA: Ekonomi Tumbuh Loyo
Tantangan terbesarnya adalah: niat baik tanpa desain konkret. Jangan sampai “tim kajian khusus” hanya jadi tempat parkir para pejabat pensiun. Rakyat ingin lihat blueprint, bukan lagi breaking news dengan pose jabat tangan. Solusinya?
1. Negosiasi paket: Tambahan kuota dibarter dengan izin membangun kawasan hunian tetap.
2. Bangun modular: Tempat tinggal semi permanen, bisa dipakai tahunan, dibongkar pasca musim haji.
3. Digitalisasi data jamaah: Agar kloter tidak tercerai berai seperti potongan puzzle.
4. Konsorsium Indonesia–Saudi: Badan resmi yang urus logistik, bukan sekadar kirim surat ucapan terima kasih.
5. Investasi jangka panjang: Manfaatkan dana haji (yang triliunan itu) untuk membiayai pembangunan nyata, bukan hanya kajian.
Ibadah haji adalah puncak spiritual umat Islam. Tapi manajemennya jangan dibiarkan jadi drama musiman. Sudah saatnya Indonesia berhenti hanya jadi “tamu yang baik” dan mulai menjadi “mitra yang strategis.” Apalagi dengan populasi muslim terbesar dunia, kita bukan cuma penonton —kita pemain utama.
Maka jika Prabowo benar-benar ingin dikenang bukan sekadar presiden yang “pernah mengusulkan Kampung Haji”, tapi presiden yang mewujudkannya, silakan lanjutkan. Tapi jangan lupa: rakyat menanti bukan pertemuan di Riyadh, tapi rumah di Mina yang bisa ditinggali dengan damai.
Sebab kuota bisa ditambah, tapi kenyamanan ibadah hanya bisa dicapai jika niat, dana, dan tindakan selaras. Dan kalau bisa, tolong jangan bentuk “tim kajian” lagi. Sudah terlalu banyak kajian, terlalu sedikit bangunan. ***
(Penulis adalah kolumnis Ma'had Tadabbur al-Qur'an)