Jam di sudut ruang berbunyi menunjukkan pukul 00.00 WIB bersama embusan nafas kasar dari bayangan gelap diantara terang. "Lagi, kenapa harus seperti ini terus sih? Gimana bisa selesai naskah ini kalau poin utama belum ditemukan?" ungkapnya frustasi dengan netra tajam fokus pada notebook di hadapannya.
Satu pekan berlalu dan kondisi tetap sama. Ray—pemuda perfeksionis yang bergelut dalam bidang kepenulisan—duduk termenung di sudut cafĂ© dengan jemari tangan mengetuk meja tanpa henti. Rasa cemas dan khawatir berpadu, "Setengah jam lagi… tim editor akan datang dan aku masih belum menemukannya." Gumam Ray sebelum seorang pelayan menghampirinya.
"Permisi, Bang. Ini pesanannya, Kopi Hitam tanpa es," ucap pelayan dengan suara ramah yang kemudian dijawab Ray tanpa mengalihkan pandangannya dari layar notebook.
Pelayan itu tersenyum tipis. "Izin, Bang. Kelihatannya serius banget. Lagi banyak pikiran, Bang?"
Ray menghela napas panjang. "Iya, saya sudah menulis cerita, tapi belum bisa menemukan judul yang pas. Rasanya semua judul yang kepikiran kurang cocok, sedangkan setengah jam lagi editor saya akan datang."
Pelayan itu menatapnya penuh pengertian. "Menurut Abang, judul itu penting sekali, ya?"
Ray mengangguk. "Betul. Saya pikir judul adalah kunci agar pembaca mengerti makna ceritanya. Kalau judulnya kurang tepat, ceritanya jadi nggak nyambung."
Pelayan itu mengangguk pelan, lalu berkata, "Kalau saya sih, kadang-kadang hidup juga seperti itu. Kita terlalu memikirkan 'judul' atau 'label' supaya semuanya sempurna, sampai lupa menikmati jalan ceritanya sendiri."
Ray menatap pelayan itu dengan mata sedikit terbelalak. "Tapi bagaimana kalau tanpa judul, ceritanya malah jadi nggak jelas?"
Pelayan tersenyum, "Mungkin justru yang nggak jelas itu yang bikin penasaran. Seperti kopi yang saya buat, rasanya sederhana tapi nikmat, tanpa perlu embel-embel apa pun."
Kata-kata itu membuat Ray merenung. Ia belum pernah melihat sudut pandang seperti itu. "Mungkin aku harus belajar menikmati prosesnya dulu, bukan hanya memikirkan hasil akhirnya," gumamnya.
Pelayan mengangguk, "Betul, Mas. Kadang kita terlalu fokus ke akhir, sampai lupa bahwa perjalanan itu sendiri penuh warna dan makna."
Ray tersenyum kecil untuk pertama kalinya sejak hari itu. "Terima kasih, Bang, akhirnya saya dapat insight baru."
"Sama-sama, Mas. Semoga ceritanya nanti jadi luar biasa, apapun judulnya," jawab pelayan sambil berlalu, meninggalkan Ray dengan pikirannya yang mulai terasa lebih ringan.
Setelah percakapannya bersama pelayan tersebut, Ray akhirnya mendapatkan dan menetapkan judul naskahnya dengan "Judul yang Tak Tertulis" sebagai simbol penerimaan makna di luar kata. Bahwa menerima hidup dan karya tidak harus sempurna, hal ini juga dapat mengajarkan manusia tentang rasa syukur terhadap apa yang telah diberikan. ***
"Permisi, Bang. Ini pesanannya, Kopi Hitam tanpa es," ucap pelayan dengan suara ramah yang kemudian dijawab Ray tanpa mengalihkan pandangannya dari layar notebook.
Pelayan itu tersenyum tipis. "Izin, Bang. Kelihatannya serius banget. Lagi banyak pikiran, Bang?"
Ray menghela napas panjang. "Iya, saya sudah menulis cerita, tapi belum bisa menemukan judul yang pas. Rasanya semua judul yang kepikiran kurang cocok, sedangkan setengah jam lagi editor saya akan datang."
Pelayan itu menatapnya penuh pengertian. "Menurut Abang, judul itu penting sekali, ya?"
Ray mengangguk. "Betul. Saya pikir judul adalah kunci agar pembaca mengerti makna ceritanya. Kalau judulnya kurang tepat, ceritanya jadi nggak nyambung."
Pelayan itu mengangguk pelan, lalu berkata, "Kalau saya sih, kadang-kadang hidup juga seperti itu. Kita terlalu memikirkan 'judul' atau 'label' supaya semuanya sempurna, sampai lupa menikmati jalan ceritanya sendiri."
Ray menatap pelayan itu dengan mata sedikit terbelalak. "Tapi bagaimana kalau tanpa judul, ceritanya malah jadi nggak jelas?"
Pelayan tersenyum, "Mungkin justru yang nggak jelas itu yang bikin penasaran. Seperti kopi yang saya buat, rasanya sederhana tapi nikmat, tanpa perlu embel-embel apa pun."
Kata-kata itu membuat Ray merenung. Ia belum pernah melihat sudut pandang seperti itu. "Mungkin aku harus belajar menikmati prosesnya dulu, bukan hanya memikirkan hasil akhirnya," gumamnya.
Pelayan mengangguk, "Betul, Mas. Kadang kita terlalu fokus ke akhir, sampai lupa bahwa perjalanan itu sendiri penuh warna dan makna."
Ray tersenyum kecil untuk pertama kalinya sejak hari itu. "Terima kasih, Bang, akhirnya saya dapat insight baru."
"Sama-sama, Mas. Semoga ceritanya nanti jadi luar biasa, apapun judulnya," jawab pelayan sambil berlalu, meninggalkan Ray dengan pikirannya yang mulai terasa lebih ringan.
Setelah percakapannya bersama pelayan tersebut, Ray akhirnya mendapatkan dan menetapkan judul naskahnya dengan "Judul yang Tak Tertulis" sebagai simbol penerimaan makna di luar kata. Bahwa menerima hidup dan karya tidak harus sempurna, hal ini juga dapat mengajarkan manusia tentang rasa syukur terhadap apa yang telah diberikan. ***
(Penulis adalah mahasiswi STID M Natsir, Jakarta)