Sebagai organisasi Islam, Hidayatullah dengan pengarusutamaan gerakan pada bidang pendidikan dan dakwah, telah menunjukkan eksistensinya secara progresif dalam dinamika pembangunan masyarakat Indonesia. Di tengah gelombang perubahan sosial dan teknologi yang mengiringi era kontemporer, tantangan bagi organisasi Islam tidak lagi sekadar mempertahankan idealisme, melainkan bagaimana menjadikan nilai-nilai Islam sebagai kekuatan transformasional yang menjawab kebutuhan zaman.
Dalam konteks ini, Hidayatullah tampil dengan manhaj nabawi sebagai salah satu jatidiri kader sebagai landasan gerakan, serta berperan aktif dalam membangun peradaban Islam melalui pendidikan, dakwah, dan pelayanan sosial serta kegiatan-kegiatan lainnya.
Identitas Gerakan
Didirikan pada tahun 1973 di Balikpapan oleh Ustadz Abdullah Said, Hidayatullah tumbuh dari gerakan dakwah lokal menjadi organisasi nasional yang menjangkau hampir seluruh pelosok Indonesia. Hingga Juni 2025, menurut Samsuddin sebagai Ketua Departemen Organisasi DPP Hidayatullah, jumlah jaringan secara nasional ada 2.698 titik, belum termasuk pondok pesantren dan institusi pendidikan, BMH, BTH, retail dan klinik.
Identitas Gerakan
Didirikan pada tahun 1973 di Balikpapan oleh Ustadz Abdullah Said, Hidayatullah tumbuh dari gerakan dakwah lokal menjadi organisasi nasional yang menjangkau hampir seluruh pelosok Indonesia. Hingga Juni 2025, menurut Samsuddin sebagai Ketua Departemen Organisasi DPP Hidayatullah, jumlah jaringan secara nasional ada 2.698 titik, belum termasuk pondok pesantren dan institusi pendidikan, BMH, BTH, retail dan klinik.
Hidayatullah mengusung semangat perubahan berbasis tauhid, tarbiyah, dan taklim. Manhaj Nabawi, yaitu metode perjuangan yang meneladani Rasulullah SAW dalam membangun masyarakat madani, menjadi pemandu manhaji pergerakan Hidayatullah.
Dinamika Tantangan Era Kontemporer
Era kontemporer yang disebut dalam teori kepemimpinan Warren Bennis dan Burt Nanus, penulis buku Leaders: The Strategies for Taking Charge, sebagai era VUCA (Volatility, Uncertainty, Complexity, Ambiguity), menuntut organisasi Islam bersikap responsif terhadap perubahan. Digitalisasi, pluralisme budaya, serta gaya hidup modern yang cenderung individualis dan hedonis menjadi ujian bagi eksistensi Hidayatullah.
Dinamika Tantangan Era Kontemporer
Era kontemporer yang disebut dalam teori kepemimpinan Warren Bennis dan Burt Nanus, penulis buku Leaders: The Strategies for Taking Charge, sebagai era VUCA (Volatility, Uncertainty, Complexity, Ambiguity), menuntut organisasi Islam bersikap responsif terhadap perubahan. Digitalisasi, pluralisme budaya, serta gaya hidup modern yang cenderung individualis dan hedonis menjadi ujian bagi eksistensi Hidayatullah.
Di sisi internal, tuntutan terhadap profesionalisasi organisasi, rekrutmen anggota, efektivitas kaderisasi, dan transparansi pengelolaan menjadi prioritas yang tak terelakkan. Sedangkan di sisi eksternal, Hidayatullah perlu hadir sebagai solusi di tengah kegelisahan spiritual masyarakat urban maupun pedesaan.
Strategi dan Inovasi Organisasi
Guna mengokohkan eksistensi yang berkelanjutan, Hidayatullah perlu mengadopsi pendekatan adaptif yang tetap berpijak pada nilai-nilai Jatidirinya. Strateginya meliputi: Pertama, konsolidasi struktur organisasi dan penguatan identitas jamaah. Konsolidasi struktur organisasi sangat penting karena menyangkut efektivitas pencapaian visi misi, memperkokoh kekuatan internal, dan ketahanan menghadapi tantangan zaman.
Strategi dan Inovasi Organisasi
Guna mengokohkan eksistensi yang berkelanjutan, Hidayatullah perlu mengadopsi pendekatan adaptif yang tetap berpijak pada nilai-nilai Jatidirinya. Strateginya meliputi: Pertama, konsolidasi struktur organisasi dan penguatan identitas jamaah. Konsolidasi struktur organisasi sangat penting karena menyangkut efektivitas pencapaian visi misi, memperkokoh kekuatan internal, dan ketahanan menghadapi tantangan zaman.
Jadi konsolidasi tidak dimaksudkan menegasikan tokoh-tokoh lintas generasi. Konsolidasi struktur dimaksudkan; memudahkan koordinasi dan pelaksanaan kegiatan, setiap bagian organisasi tahu peran dan tanggung jawabnya sehingga tidak ada tumpang tindih.
Kedua, digitalisasi tarbiyah dan dakwah melalui platform media sosial dan e-learning. Ketiga, pengembangan lembaga pendidikan berbasis kurikulum integratif antara ilmu umum dan ilmu syar’i.
Keempat, inisiatif pemberdayaan ekonomi umat seperti koperasi, fundraising mandiri, dan program kemanusiaan. Kelima, pengembangan Majelis Qur’an dan Rumah Qur’an Hidayatullah sebagai embrio kebangkitan masyarakat berbasis nilai-nilai Islam.
Eksistensi Hidayatullah di era kontemporer bukanlah sekadar mempertahankan eksistensi fisik kelembagaan, melainkan merumuskan secara tepat makna gerakan Islam yang relevan dengan zaman. Dengan berpegang pada manhaj nabawi dan semangat transformasi, pergerakan Hidayatullah dengan mainstream tarbiyah dan dakwah memiliki potensi besar untuk menjadi arus utama dalam pembangunan peradaban Islam di Indonesia.
Eksistensi Hidayatullah di era kontemporer bukanlah sekadar mempertahankan eksistensi fisik kelembagaan, melainkan merumuskan secara tepat makna gerakan Islam yang relevan dengan zaman. Dengan berpegang pada manhaj nabawi dan semangat transformasi, pergerakan Hidayatullah dengan mainstream tarbiyah dan dakwah memiliki potensi besar untuk menjadi arus utama dalam pembangunan peradaban Islam di Indonesia.
Itulah pentingnya Hidayatullah memperhatikan akar sejarah awal kebangkitannya yang bisa menjadi modal menjawab tantangan masa kini tanpa mengabaikan urgensinya inovasi yang berpijak pada iman, ilmu, dan amal yang pantang menyerah. Tiga elemen yang menjadi warna khas kader Hidayatullah dalam berkontribusi membangun bangsa.
(Penulis adalah ketua Bidang Dakwah dan Pelayanan Ummat DPP Hidayatullah)
(Penulis adalah ketua Bidang Dakwah dan Pelayanan Ummat DPP Hidayatullah)