Kamis, 25 Maret 2021

Bisakah Kenyang Tanpa Nasi?

Oleh: Faris Ranadi ---

“Belum kenyang kalau makan belum pakai nasi,” itulah kalimat yang sering terlontar oleh kita. Ya, memang ketika makan orang Indonesia sangat sulit untuk dipisahkan dengan nasi. Ia wajib terjamu di atas meja makan. Belum resmi menjadi ‘makan’ kalau nasi belum ada. Maka dari itu, beras menjadi hal nomor satu yang tersedia sebelum memasak jamuan.

Permintaan akan beras pun menjadi sangat tinggi. Karena setiap orang memerlukan beras untuk makan. Produksi dalam negeri pun kewalahan untuk memenuhi kebutuhan ini. Hal ini membuat pemerintah mencari cara lain untuk mencukupi kebutuhan beras dalam negeri Akhirnya, mengimpor beras menjadi solusi utama dalam menyelesaikan hal ini. Terutama, karena beras impor lebih murah ketimbang beras domestik.

Akan tetapi, aktifitas impor beras ini banyak diprotes oleh beberapa tokoh. Alasan utamanya karena impor beras merugikan petani lokal. Gubernur Jawa Timur, Ganjar Pranowo, misalnya, meminta agar impor beras dibatalkan. Karena para petani, khususnya di Jawa Timur, sudah memasuki masa panen. Begitu pula dengan Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB), Dwi Andreas Santosa, yang juga melayangkan pendapat senada. Lebih jauh, ia mengatakan bahwa justru hasil panen petani lokal telah mengalami peningkatan sebesar 3,4 juta ton. 

Menanggapi hal ini, Menteri Perdangangan, Muhammad Lutfi, berkata bahwa impor beras dilakukan untuk mengantisipasi kemungkinan terburuk yang akan dialami oleh petani lokal. Terutama mengingat musim hujan terus menerus yang mengguyur, membuat gabah yang telah dipanen menjadi basah. Sementara, peraturan Bulog hanya membolehkan gabah kering yang dibeli. “…memang tugas saya sebagai Mendag, memikirkan yang tak tepikirkan, memikirkan yang terburuk sesuai tugas dan tanggung jawab saya,” ujarnya.

Memang, masalah ketahanan pangan ini menjadi isu yang berkepanjangan. Tetapi justru fokus hanya terhadap ketahanan pangan saja, apalagi pangan yang dimaksud hanya beras, justru yang menjadi masalah, begitulah menurut Pak Kusnadi, seorang praktisi dan pakar Permanent Agricultural Design, ketika diwawancarai pada Senin, 22 Maret 2021 yang lalu. Menurutnya, ketika pangan disempitkan menjadi beras saja, hal ini malah menelantarkan keanekaragaman pangan yang ada di Indonesia. 

Padahal, ada banyak bahan pangan lain yang dapat menggantikan nasi sebagai sumber tenaga. “Di Indonesia, sejak dulu, kita sudah mempunyai pangan lokal seperti sagu, ketela pohon, jagung, yang merupakan sumber karbohidrat, sebelum adanya beras,” ujar Alumnus Fakultas Teknologi Pertanian IPB tersebut.

Lebih lanjut lagi, Pak Kusnadi menjelaskan bahwa penyempitan pangan ini akan berakibat pada keterjebakan pada memprioritaskan ketahanan pangan saja, namun, tidak berusaha untuk membangun kemandirian pangan. Karenanya, beliau berpendapat bahwa mindset perihal pangan mesti diubah. Tidak lagi berkutat pada padi saja, tetapi juga melihat umbi-umbian, biji-bijian, kacang-kacangan sebagai alternatif.

Setelah mindset berhasil diubah, maka membangun kemandirian pangan ini akan lebih mudah. Karena para petani dapat menanam jenis pangan yang lain. Jenis pangan yang beragam ini akan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat tanpa harus bergantung pada satu jenis pangan saja. Sehingga, pemerintah tidak perlu lagi untuk mengimpor bahan pangan karena kurangnya hasil produksi lokal. Masyarakat juga sebagai konsumen harus diedukasi untuk mengonsumsi bahan makanan lain selain nasi yang juga menjadi sumber karbohidrat. Bahwa ada juga yang bisa mengenyangkan selain nasi.

Pengubahan mindset melalui edukasi yang baik adalah hal yang harus ditekankan menurut Pak Kusnadi. Karena tanpa adanya edukasi yang baik, maka tidak akan timbul kesadaran pada masing-masing orang. “Ia hanya akan menjadi formalitas saja. Tak lama, orang akan lupa lagi. Karena orang melakukan hal tersebut bukan karena ia sadar bahwa itu baik baginya, tetapi karena hanya karena ia mengikuti aturan resmi saja,” tutupnya. ***

(Penulis adalah mahasiswa kelas jurnalistik STID M Natsir)