Jumat, 15 Agustus 2025

Zaid bin Haritsah: Namanya Abadi dalam Al-Qur’an

Penulis: Haya Raihani Sholihah |

“Kehendak Allah, Zaid bin Haritsah tadinya adalah budak dari seorang perempuan, dan ia telah menjadi manusia yang paling aku cintai.” (Muhammad Rasulullah ﷺ)

Di antara deretan sahabat Rasulullah ﷺ yang setia, nama Zaid bin Haritsah memegang tempat istimewa. Ia bukan hanya panglima perang yang gugur syahid, tetapi juga satu-satunya sahabat yang disebutkan namanya secara jelas dalam Al-Qur’an.

Zaid mencintai Rasulullah ﷺ dengan sepenuh hati—lebih dari ayah, ibu, suku, maupun tanah kelahirannya. Kesetiaan itu dibalas dengan kasih sayang yang mendalam. Rasulullah ﷺ memuji kecerdasannya, keteguhannya, dan kemampuannya memimpin. Bahkan beliau pernah berkata, “Demi Allah! Dia patut memimpin.”

Dari Anak Merdeka Menjadi Budak

Zaid lahir sekitar 47 tahun sebelum hijrah. Ayahnya bernama Syarahil bin Ka’ab dari kabilah Kalb, sedangkan ibunya, Syu’da binti Sa’labah, berasal dari suku Thay.

Sejak kecil, Zaid sudah menunjukkan kecerdasan dan keteguhan hati. Namun masa remajanya berubah drastis ketika kabilah Bani Qain bin Jisr menyerbu kaumnya dan menawannya. Zaid dijual di pasar Ukazh kepada Hakim bin Hizam, lalu dibelikan bibinya, Khadijah binti Khuwailid, seharga 400 dirham.

Khadijah, yang melihat tanda-tanda kecerdasan pada Zaid, menghadiahkannya kepada suaminya, Muhammad ﷺ. Sejak saat itu, Zaid hidup di bawah pengawasan langsung Rasulullah ﷺ dan merasakan indahnya akhlak beliau.

Kerinduan yang Tak Pernah Padam

Sementara Zaid menikmati kasih sayang di rumah Rasulullah ﷺ, kedua orang tuanya di kampung halaman dilanda duka mendalam. Ayahnya, Haritsah, berkelana ke berbagai penjuru, menanyakan kabar anaknya kepada setiap kafilah, bahkan menuangkan kerinduan itu dalam bait-bait syair yang menggetarkan hati:

Aku menangis karena Zaid, dan aku tak tahu apa yang ia kerjakan.
Apakah ia masih hidup hingga bisa kuharapkan, ataukah ajal telah menjemputnya?
Demi Allah, aku tak mengerti, dan aku terus bertanya.

Hingga pada suatu musim haji di masa jahiliah, beberapa orang dari kaumnya menemukan Zaid. Ayah dan pamannya datang ke Makkah untuk menebusnya. Namun Rasulullah ﷺ menolak menerima tebusan dan berkata, “Biarkan ia memilih. Jika ia memilih kalian, ia akan kembali tanpa tebusan. Jika ia memilih aku, demi Allah, aku takkan memaksanya pergi.”

Di luar dugaan, Zaid memilih tetap bersama Rasulullah ﷺ. Ia berkata, “Aku melihat pada beliau sesuatu yang tidak aku temukan pada siapapun yang aku pilih.” Rasulullah ﷺ lalu membawa Zaid ke hadapan orang Quraisy di Ka’bah dan mengumumkan, “Zaid adalah anakku, aku adalah ahli warisnya, dan ia adalah ahli warisku.”

Jejak di Medan Perang

Kesetiaan Zaid tak hanya teruji di rumah, tetapi juga di medan perang. Ia ikut serta dalam Perang Badar, Uhud, Khandaq, Hudaibiyah, Khaibar, dan berbagai peristiwa penting lainnya.

Puncak pengorbanannya terjadi pada tahun 8 Hijriah, saat Rasulullah ﷺ mengutus pasukan ke Mu’tah, Syam, untuk menindak pembunuhan utusan beliau, Harits bin Umair Al-Azdi. Dengan pasukan hanya 3.000 orang melawan 200.000–300.000 tentara Romawi dan sekutunya, Zaid memimpin serangan dengan keberanian luar biasa hingga gugur sebagai syahid pada usia 55 tahun.

Kehidupan Keluarga

Zaid menikah beberapa kali. Dari pernikahannya dengan Ummu Aiman, lahirlah Usamah bin Zaid, yang kelak menjadi panglima perang muda kebanggaan umat Islam. Ia juga menikah dengan Zainab binti Jahsy—kisah yang menjadi bagian penting dari wahyu Al-Qur’an—serta Ummu Kultsum binti Uqbah, wanita Quraisy pertama yang hijrah ke Madinah sendirian.

Duka Rasulullah ﷺ

Berita gugurnya Zaid membuat Rasulullah ﷺ diliputi kesedihan mendalam. Aisyah ra. meriwayatkan, “Saat Zaid bin Haritsah, Ja’far, dan Abdullah bin Rawahah terbunuh, Rasulullah ﷺ duduk di masjid dengan wajah penuh kesedihan.”

Nama Zaid bin Haritsah tak hanya tercatat dalam sejarah Islam, tetapi juga diabadikan dalam wahyu Ilahi. Kesetiaannya, keberaniannya, dan cintanya kepada Rasulullah ﷺ menjadi teladan yang tak lekang oleh waktu. ***

(Penulis adalah mahasiswi STID M Natsir, Jakarta)