Minggu, 24 Desember 2023

Sepuluh Strategi Manipulasi Media (3)

PenulisHanibal W Wijayanta |

Strategi Kelima adalah Tampil ke Tengah Publik Seperti Seorang Anak Kecil. Sampai saat ini kita bisa mengamati, betapa sebagian besar iklan layanan masyarakat memakai pidato, argumen, sosok, dan khususnya intonasi, anak-anak yang tampak lemah. Dengan suguhan seperti itu seolah-olah penonton adalah sekumpulan anak-anak kecil lugu yang tidak tahu apa-apa, atau para penyandang keterbelakangan mental yang hanya bisa mencerna ucapan-ucapan yang lembut, polos, dan penuh bujukan. 


Pertengahan November lalu jutaan pasang mata menyaksikan drama salaman tak terbalas dari dua orang anak debutan baru di panggung politik. Si Ibu tampak bingung saat mereka datang di hadapannya. Apalagi ketika Si Kecil menyodorkan tangan untuk mengajaknya bersalaman. Si Ibu hanya diam saja, tangan tetap di atas pangkuan, dan pasang muka datar. Karena sodoran tangannya tak berbalas, Si Kecil duduk ndeprok di lantai, di depan Si Ibu sambil mengajak berbincang-bincang, sementara Si Ibu menanggapi seperlunya. 

Dari kaca mata politik, apa yang dilakukan kedua anak itu dianggap hebat dan berani. Sebab pada saat yang sama, Ayah kedua anak itu sedang bersimpang jalan dengan Si Ibu. Kedua anak itu tampak begitu santun dan beradab. Sementara tanggapan Si Ibu dianggap kurang proper. Padahal video yang dishare secara masif oleh pihak-pihak tertentu itu adalah salaman kedua. Salaman pertama tidak dimunculkan. 

Jika kembali dilihat dalam video lengkap yang direkam stasiun-stasiun televisi, jelas sekali bahwa di awal acara, dalam keriuhan kedatangan tamu di dalam gedung, kedua anak itu sudah bersalaman dengan Si Ibu. Si Ibu pun menanggapi, menyalami, dan bercakap-cakap sebentar dengan mereka. Tapi tampaknya momentum salaman pertama itu dianggap kurang nendang. Maka diciptakanlah momen kedua, ketika dua anak debutan baru itu kembali datang ke hadapan Si Ibu, dan mengajak bersalaman lagi. 

Gerak-gerik Si Perekam Video Momentum Khusus pada saat memberikan kode kepada Si Kakak tampak terekam. Begitu pula ketika Si Kakak memanggil Si Adik untuk maju ke depan lagi. Lalu tampak adegan ketika Si Adik mendekati dan mengulurkan tangan lagi kepada Si Ibu, kemudian duduk ndeprok di lantai dan tetap tak berbalas. Setelah itu mereka kembali ke kursi masing-masing. Seluruh gerak-gerik dan gesture mereka terekam dengan jelas. Di akhir adegan, bahkan terekam pula ketika Si Perekam Video bereaksi, seolah memastikan bahwa adegan itu sukses.

Rupanya penata gerak anak-anak debutan itu sangat memahami gerak-gerik, gesture dan perilaku  Si Ibu. Tampaknya dari awal Sang Sutradara sudah memperkirakan bahwa Si Ibu akan menampilkan gestur yang tidak nyaman ketika diajak salaman lagi. Potongan video pengin salim sambil ndeprok tapi dicuekin itu, lalu dishare dengan massif. Video itulah yang pada awalnya disaksikan publik lewat media sosial. Warga lugu pun terpesona, lalu merasa iba, kasihan, dan bersimpati kepada Si Anak Kecil, sementara Si Ibu sudah terlanjur mendapat celaan berbagai rupa.

Di panggung politik jangan pernah terjebak dengan drama-drama yang melibatkan kesan bahwa si korban adalah seorang anak kecil yang lugu, polos, dan malang semacam ini.  Jangan gampang terpedaya dengan tampilan luar yang naif, sederhana, dan bodoh di blantika politik yang penuh sandiwara. Sebab, plot twist yang terbangun dalam pencitraan-pencitraan semacam ini kadang sangat mengejutkan, dan bahkan di luar nalar. Kesalahan fatal belakangan terbukti bahwa sudah dirancang dan desain, sementara informasi yang salah justru dimanfaatkan menjadi penangguk popularitas. Masyarakat perlu berhati-hati dalam menghadapi fenomena ini. Sebab, saat ini adalah era propaganda post truth.

Di sisi yang lain, kini masyarakat juga dapat menyaksikan dengan gamblang, betapa banyaknya wajah-wajah polos anak-anak yang beredar di tengah masyarakat. Jika beberapa tahun yang lalu wajah bopeng, muka penuh kerut, tampang penuh codet, kuyu, dan tua, cukup dipoles, disetrika, dan dimudakan dengan sentuhan fotoshop, adobe premier, dan sebangsanya. Kini, seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, Artificial Intelligence telah mengambil alih semuanya. 

Lebih jauh lagi, jika semula Artificial Intelligence dimanfaatkan untuk mengoprek wajah kusam dan hidung pesek menjadi bening, cantik, dan berhidung mancung. Juga untuk mempermak badan kurus kerempeng bak papan penggilasan menjadi tubuh yang molek, montok, dan sintal full pressed body. Tapi kini wajah-wajah kanak-kanak yang polos, lucu, dan sangat menggemaskan karya Artificial Intelligence yang justru ditampilkan ditambah gerak-gerik yang kocak. Wajah-wajah kanak-kanak kini menjadi topeng penutup wajah asli yang sangar, tua, dan kepala sulah, juga menjadi kedok penyaru wajah bloon, sengak, dan not good looking. Hal itu ternyata dilakukan oleh semua pihak.

Menurut Noam Chomsky, guru besar linguistik dari Institut Teknologi Massachusetts, semakin keras upaya menipu penonton, maka orang itu akan semakin cenderung mengadopsi nada infantilizing (kekanak-kanakan). Mengapa bisa begitu? Kata Chomsky, “Jika seseorang menemui orang lain dengan gaya seolah-olah ia adalah anak berusia 12 tahun atau kurang, maka dengan probabilitas tertentu, orang yang ditemuinya akan cenderung bereaksi atau merespon tanpa rasa kritis, seperti menghadapi seorang anak berusia 12 tahun atau lebih muda dari itu.” Coba rasakan, betapa mudah kita merasa iba kepada pengemis atau tukang ngamen anak-anak dari pada pengemis yang sudah berusia remaja atau paruh baya. 

Nah, jika saat ini anda tiba-tiba melihat banyak wajah kanak-kanak yang polos, lucu, dan menggemaskan di ruang publik dan dalam urusan-urusan orang dewasa, yang sehat, berakal, dan merdeka, tolong hati-hati. Bukan tidak mungkin, jika saat ini anda sedang dicoba untuk dipengaruhi, dibujuk, dan bahkan diperdaya, dengan penampilan-penampilan ala kanak-kanak itu. (Bersambung)

(Penulis adalah wartawan senior)

Baca artikel sebelumnya di:

Baca sambungan artikel ini di: