Sabtu, 29 November 2025

Warisan Kata Seorang Muhaddits

Penulis: Siti Endah Permata |

Ada kalimat yang hidup hanya sejenak, lalu hilang bersama angin. Namun, ada pula kalimat yang ditulis dengan kesungguhan, dipahat dengan ilmu, dan ditiupkan oleh niat yang bersih. Kata-kata itu tak sekadar melekat di kertas, tapi menembus ruang zaman menyala dalam hati yang haus kebenaran. Itulah warisan kata seorang muhaddits: Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah.

Ia bukan hanya menulis buku. Ia menulis sejarah ilmu. Ia menulis untuk membersihkan jalan menuju sunnah Nabi ﷺ, agar umat ini tidak tersesat oleh riwayat yang lemah atau palsu. Ia menulis bukan dengan tim editor, bukan dengan fasilitas modern, tapi dengan mesin ketik tua, semangat tak kenal lelah, dan niat yang tulus kepada Allah.

Nama lengkap beliau adalah Abu Abdirrahman Muhammad Nashiruddin bin Nuh Al-Albani. Ia lahir di kota Ashqodar, Albania, pada tahun 1333 H. Ayahnya, seorang ulama lulusan madrasah di Istanbul, membawa keluarganya berhijrah ke Damaskus demi menjaga agama dari gelombang sekularisasi di tanah kelahirannya.

Di negeri Syam, Al-Albani kecil tumbuh dalam kesederhanaan, tapi dekat dengan ilmu. Ia belajar bahasa Arab, menghafal Al-Qur'an, dan mempelajari fiqih madzhab Hanafi dari ayahnya. Ia juga menguasai keterampilan memperbaiki jam, pekerjaan tangan yang kelak menafkahinya secara halal.

Namun, hatinya terpaut pada ilmu hadits. Setelah membaca majalah Al-Manar, ia terpesona pada ketelitian sanad dan cahaya sunnah yang murni. Ia mulai menyalin kitab hadits secara manual. Kegiatan Syeikh al-Albani dalam bidang hadits ini ditentang oleh ayahnya seraya berkomentar, "Sesungguhnya ilmu hadits adalah pekerjaan orang-orang pailit (bangkrut)." Namun Syeikh al-Albani justru semakin cinta terhadap dunia hadits. 

Karena tidak mampu membeli buku, beliau memilih untuk hidup di antara rak-rak kitab. Perpustakaan Az-Zahiriyyah di Damaskus menjadi tempat tinggal ilmunya. Ia duduk berjam-jam, bahkan hingga 12 jam sehari, hanya berhenti saat adzan berkumandang. Makan pun ia lakukan dengan bekal sederhana yang ia bawa sendiri.

Ketekunannya membuahkan penghargaan. ia diberi ruang khusus, bahkan kunci perpustakaan. Ia datang paling awal dan pulang paling akhir. Kitab-kitab hadits klasik ia pelajari, ia telaah, ia takhrij satu per satu. Setiap tulisan yang ia hasilkan bukan sekadar kutipan, tapi penelitian buah dari sabar dan ketelitian.

Karena kecintaannya kepada ilmu, Syaikh Al-Albani terpaksa menutup toko reparasi jamnya. Ia memilih menulis demi menjaga ilmu Nabi ﷺ. Ia tak hanya menjadi ahli hadits, juga menjadi pelayan hadits, penjaga cahaya yang nyaris padam oleh ketidaktahuan umat.

Perjuangannya tidak tanpa rintangan. Ia pernah difitnah, dituduh,  bahkan dipenjara dua kali, satu bulan, dan enam bulan. Namun, jeruji besi tidak pernah memenjarakan semangatnya. Ia tetap menulis. Tetap membaca. Tetap menjaga warisan Rasulullah ﷺ.

Syaikh Al-Albani sempat mengajar di Universitas Islam Madinah pada tahun 1381–1383 H, dan pernah ditawari jabatan tinggi di Yordania. Namun, ia menolak, karena kondisi yang tidak memungkinkan. Fokusnya tetap satu: ilmu, sunnah, dan umat.

Syaikh Al-Albani meninggalkan lebih dari dua ratus karya, sebagian besar di antaranya bukan hanya berupa tulisan, tetapi hasil penelitian yang teliti, penuh ketekunan dan kejujuran ilmiah. Di antara karyanya yang paling dikenal adalah Silsilah Ahadits Ash-Shahihah dan Silsilah Ahadits Adh-Dha'ifah, dua mahakarya yang membedakan hadits-hadits yang benar dari yang lemah, agar umat berjalan di atas ilmu, bukan prasangka.

Karya lain yang juga banyak dirujuk adalah Irwa'ul Ghalil, serta Takhrij Misykat al-Mashabih, di mana beliau menyaring hadits-hadits dengan pisau ilmu yang tajam namun jujur. Beliau juga melakukan tahqiq pada banyak kitab penting seperti Riyadhus Shalihin, Kitab Tauhid, dan lainnya. Setiap baris dalam karya-karya itu bukan sekadar teks, tapi napas seorang muhaddits yang hidup untuk melayani warisan Nabi ﷺ.

Kini, saat kita membaca karya-karya Syaikh Al-Albani, kita sedang menelusuri jejak seorang hamba yang menulis bukan demi nama, tapi demi menjaga cahaya. Kita sedang menyentuh lembaran-lembaran yang ditulis dalam diam, namun mampu menyuarakan kebenaran yang lantang hingga hari ini. Setiap huruf dalam Tulisannya adalah bukti bahwa ketika ilmu ditulis dengan niat yang lurus, ia akan hidup lebih lama dari usia penulisnya.

Setelah Syaikh Al-Albani tiada, bukankah ilmunya masih hidup? Bukankah kitab-kitabnya masih menuntun kita kepada sunnah? Bukankah para penuntut ilmu masih menyebut namanya dengan hormat, meski tak pernah bertemu wajahnya? Bukankah itu bukti bahwa tulisan yang jujur, yang lahir dari hati yang takut kepada Allah, tak akan mati?

Lalu kita bertanya pada diri sendiri: Apa yang akan tersisa dari kita, saat tangan tak lagi kuat menggenggam pena, saat lisan tak lagi mampu menjelaskan, dan kaki tak lagi membawa kita ke majelis-majelis ilmu?
Adakah satu tulisan kecil kita, atau satu catatan, satu nasihat, satu pengingat, yang hidup lebih lama dari kita? Ataukah semua akan lenyap bersama waktu yang habis untuk mengejar bayangan dunia?

Kita memang bukan ulama besar. Tapi, kita tetap bisa menjadi penerus cahaya itu, sekecil apa pun peran kita. Kita bisa menulis satu paragraf, satu kalimat, bahkan satu kata asal ditulis karena Allah, itu bisa menjadi jejak amal yang tak terhapus oleh zaman.

Sebab menulis bukan soal indahnya diksi. Bukan pula soal pujian atau pengikut. Menulis adalah amal hati yang tumpah ke atas kertas. Dan, Syaikh Al-Albani telah menunjukkan bahwa produktivitas dalam ilmu bukan ditentukan oleh fasilitas, gelar, atau panggung, tetapi oleh ketulusan, kegigihan, dan keberanian untuk jujur.

Ia menulis tanpa janji akan dikenal. Tapi hari ini, namanya disebut di berbagai belahan dunia. Ia berkarya tanpa berharap imbalan. Tapi hari ini, tulisannya menjadi bekal ribuan dai, pelita jutaan pembaca. Dan, yang terpenting, ia menulis bukan untuk disanjung, tapi untuk disaksikan oleh langit.

Maka, jangan remehkan satu catatan kecil. Jangan tunda satu tulisan baik yang lahir dari hatimu. Karena bisa jadi, dari tulisan itu Allah mengampuni dosa. Dari tulisan itu seseorang kembali kepada sunnah. Dari tulisan itu ada amal jariyah yang mengalir bahkan saat kita telah berada di dalam tanah.

Kelak, ketika tinta telah kering, dan dunia tak lagi bisa dibaca, akan datang hari ketika semua tulisan akan dibuka. Dan tinta itu akan bersaksi.
 
فَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُۥ   وَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُۥ

"Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula."
(Al-Zalzalah: 7-8)

(Penulis adalah Mahasiswa STID M Natsir Jakarta)

Referensi:
· https://tafsirweb.com/7968-surat-yasin-ayat-12.html
· https://tafsirweb.com/37718-surat-az-zalzalah-ayat-7-8.html
· https://www.alquran-sunnah.com/artikel/ulama/biografi-ulama/