Minggu, 24 Desember 2023

Sepuluh Strategi Manipulasi Media (4)

Penulis: Hanibal W Wijayanta |

Strategi keenam adalah Lebih Menggunakan Sisi Emosional dari Sekadar Refleksi. Menurut Chomsky, memanfaatkan aspek emosional adalah teknik klasik untuk menyebabkan arus pendek pada analisis rasional, yang pada akhirnya menjalar ke arti penting individu. Penggunaan sisi emosional akan membuka pintu alam bawah sadar untuk sebuah implantasi atau okulasi ide, keinginan, ketakutan dan kecemasan, dorongan, atau mendorong perilaku.


Di panggung politik nasional, metode seolah-olah menjadi korban atau playing victim, agar meraih simpati publik yang emosional dan merasa kasihan telah berkali-kali diterapkan, dan berkali-kali pula masyarakat termakan strategi ini. Sepuluh tahun lalu, SBY dengan sukses meraih simpati masyarakat dengan tampil di media sebagai orang yang “dikuyo-kuyo” setelah memanfaatkan momentum tidak diajak rapat-rapat lagi oleh Presiden Megawati Soekarnoputri, ditambah statement Suami Presiden Taufiq Kiemas, yang menganggap perilaku SBY yang seperti anak kecil. 

Aspek emosional juga dimanfaatkan Joko Widodo untuk meraup dukungan pada pemilu 2014. Saat itu dia dicitrakan di media sebagai wong ndeso yang lugu, kurus kerempeng, tidak neko-neko, dari keluarga desa yang sederhana, masih belum banyak berpengalaman, plus ditampilkan selalu memakai kemeja kotak-kotak merah seperti pekerja biasa, celana pantalon hitam sederhana, serta sepatu buatan Cibaduyut yang murah meriah. Sementara, pesaingnya saat itu, Prabowo Subianto dicitrakan sebagai calon dengan latar belakang elit nasional, high profile, kaya raya, dan outfit yang perlente. 

Penampilan bersahaja, lugu, dan belum berpengalaman, rupanya menuntun emosi masyarakat untuk mendukungnya dengan harapan-harapan tertentu. Kondisi ini terjadi pada saat para elit politik dan militer mendukung Jokowi pada pemilu 2014. Saat itu hanya tinggal dua atau tiga minggu sebelum pemilu. Kami di ANTV sedang kedatangan tamu, KSAD Jenderal Budiman. Setelah KSAD memaparkan soal netralitas TNI dan juga pengamanan Pemilu, saya lalu bertanya kepada Jenderal Budiman, soal preferensi calon presiden menurut TNI. Sebab saat itu calon presiden yang akan bersaing adalah mantan tentara, Letjen TNI (Purn.) Prabowo Subianto, dan bukan tentara, Joko Widodo.

Menjawab pertanyaan saya, Jenderal Budiman mengatakan, “Kami tahu, beliau yang mantan TNI itu sangat hebat, sangat luar biasa, sangat cerdas, IQ-nya tinggi, sangat berpengalaman, dan bervisi luas. Namun karena kemampuan pribadi beliau itu, kami justru khawatir beliau kurang bisa menerima masukan-masukan dari kami. Sementara yang bukan tentara itu, kami tahu bahwa beliau masih kurang pengalaman, kemampuannya juga kurang, dari sisi kecerdasan mungkin juga tidak sehebat yang mantan tentara itu. Tapi kami yakin, beliau masih mau menerima masukan-masukan dari kami,” ujarnya. 

Harapan untuk “bisa memberi masukan”, bisa mengarahkan”, dan bahkan “bisa mengendalikan” calon sipil yang masih lugu, sederhana, dan kurang berpengalaman itu mendorong sebagian kalangan elit politik nasional mendukungnya secara emosional. Dengan suka rela kalangan elit politik nasional itu mengundang orang baru dari kalangan rakyat biasa --kaum proletar-- dalam lingkaran elit utama. Padahal, menurut Teori Elit Mosca, mengundang orang baru dari kalangan rakyat biasa ke lingkaran elit politik, adalah bukti ketidakmampuan para elit politik itu dalam mengelola soliditas mereka, agar hanya merekalah yang menjadi penguasa.

Dukungan emosional yang terjadi menjelang pemilu 2014 sesungguhnya hanyalah pengulangan dari sequel politik yang terjadi pada tahun 1966, pasca kudeta PKI yang gagal. Saat itu, awal tahun 1966, diselenggarakan pertemuan antara para sarjana, pejabat sipil, dan juga pejabat militer, untuk memutuskan siapa yang akan mereka dukung, untuk memperjuangkan perubahan pasca Soekarno. Ketika itu Adnan Buyung Nasution hadir sebagai tokoh Himpunan Sarjana Indonesia. Dialah yang menceritakan kepada saya tentang pertemuan itu.

Dalam pertemuan yang dihadiri para elit militer, sipil, dan birokrasi itu terjadi silang pendapat di antara mereka, tentang siapa akan mereka dukung. Pilihannya ada dua, apakah mendukung KSAB (Kepala Staf Angkatan Bersenjata) Jenderal TNI AH Nasoetion, ataukah Pangkostrad (Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat) sekaligus Pangkopkamtib (Panglima Komando Operasi Pemulihan Kemanan dan Ketertiban), Mayjen TNI Soeharto. 

Perdebatan berlangsung seru, sampai akhirnya seorang pejabat tinggi di kementerian pengajaran, Mashuri SH, yang juga bekas pimpinan tentara pelajar, angkat bicara. "Nasution itu lulusan AMS (Algemeene Middelbare School), Kadet CORO (Corps Opleiding Voor Reserve Officieren), orang pintar, susah kita kalau dengan orang macam dia. Kita akan selalu diatur-atur sama dia. Kalau Harto itu cuma sekolah Ongko Loro (Tweede School), cuma Sersan KNIL (Koninklijke Nederlands-Indische Leger), otaknya di dengkul, nanti kita gampang atur-atur dia. Makanya lebih baik kita dukung Harto,” kata Mashuri sebagaimana diungkapkan Adnan Buyung Nasution.
 
Setelah Mashuri bicara, akhirnya semua sepakat untuk mendukung Mayjen Soeharto sebagai pemimpin Orde Baru. Ada kesan, seperti yang diungkapkan Mashuri, bahwa para elit politik itu memilih mendukung Jenderal Soeharto karena mereka anggapan emosional bahwa lelaki kelahiran Desa Kemusuk, Godean, Yogyakarta itu adalah orang desa lugu, yang hanya sekolah di Sekolah Ongko Loro, yang bodoh dengan ungkapan otaknya di dengkul, sehingga gampang mereka atur.

Tapi ternyata orang yang mereka dukung itu melebihi ekspektasi rasional mereka. Lelaki itu ternyata punya syaraf baja, punya kesabaran menunggu, punya otak encer yang bahkan otak fotografis yang mampu merekam detail data, sebelum kemudian berhasil menancapkan kuku kekuasaannya selama 32 tahun. Sementara, para elit politik nasional yang mendukungnya dalam pertemuan itu, satu demi satu menjadi "korban" kekuasaan Orde Baru.

Sayang, seperti kata Filsuf Inggris George Bernhard Shaw, “Dari sejarah kita belajar, bahwa kita tidak pernah belajar dari sejarah…” (Bersambung)