Sabtu, 16 Agustus 2025

Kursi Kecil di Depan Rumah Sakit Jiwa

Penulis: Aufa Afifah |

Aku selalu percaya bahwa langit menyimpan suara-suara yang tidak mampu ditampung bumi. Suara tangis yang ditelan malam, doa-doa yang dikirim diam-diam, dan rintihan orang-orang yang tak punya cukup kekuatan untuk bicara. Salah satu suara itu berasal dari seorang anak bernama Hafshah.

Ia duduk di atas kursi plastik kecil berwarna biru pudar di depan Rumah Sakit Jiwa Al-Fikr setiap hari, sejak fajar pertama sampai adzan Maghrib merayap di langit muram kota ini. Umurnya delapan tahun. Tak ada mainan, tak ada teman. Hanya ada dia, secarik kertas gambar yang selalu digenggam erat, dan sebuah kotak bekal.

Tak banyak orang peduli pada kursi kecil itu. Bahkan, kursi itu telah menjadi semacam ornamen tetap di depan gerbang besi tua itu, seperti pot bunga mati yang tak pernah disiram.

Namun, aku memperhatikannya. Aku, penjaga pintu RSJ itu, telah mengenalnya lebih lama daripada siapa pun di sini.

"Kenapa kamu di sini terus, Nak?" tanyaku sekali waktu.

Hafshah tak menjawab. Matanya menatap langit. Wajahnya bersih, terlalu bersih untuk seumur itu. Terlalu tenang, seperti anak yang telah lama berhenti berharap.

Aku kemudian tahu dari perawat bahwa ibunya ada di dalam. Pasien kasus berat. Trauma pasca kekerasan rumah tangga yang parah. Dan suaminya, lelaki yang Hafshah sebut "Abi", mengakhiri hidup dengan cara paling brutal—di hadapan istri dan anaknya.

Ibunya pingsan. Saat sadar, jiwanya sudah tak di tempatnya lagi.

o0o

Suatu sore, aku duduk di samping Hafshah. Ia menyodorkan kertas gambar. Gambar itu adalah gambar perempuan dengan mata besar yang dipenuhi air, duduk di ruang kosong, dikelilingi tembok hitam. Di pojok kertas, ada Hafshah kecil, duduk di atas kursi kecil—sama seperti aslinya.

"Ummi pernah bilang... surga itu di bawah telapak kakinya. Tapi kenapa telapak kakinya sekarang dingin, Pak?" tanyanya tiba-tiba.

Aku tercekat. Tidak ada jawaban yang bisa menyembuhkan anak sekecil itu dari luka sebesar itu.

"Mungkin... Allah sedang memeluk Ummi-mu dengan cara yang berbeda," jawabku pelan. "Kadang, luka itu jalan pulang."

Hafshah menatapku, matanya seperti sumur tua. Dalam dan gelap. Tapi di dalam sana ada sesuatu yang bersinar: iman yang rapuh, tapi bertahan.

Aku mulai memperhatikannya lebih dalam. Setiap hari, ia membawa bekal. Bukan untuk dirinya, tapi untuk Ummi-nya. Tapi bekal itu selalu ia bawa pulang lagi.

"Kenapa gak kamu makan saja?" tanyaku.

"Aku puasa, Pak," jawabnya, "Aku puasa supaya Allah sembuhkan Ummi."

o0o

Suatu hari, perawat memberi tahu bahwa kondisi ibunya makin memburuk. Tidak merespons, tidak bergerak, dan sering berteriak menyebut nama Hafshah di malam hari. Tapi prosedur rumah sakit tak mengizinkan anak-anak masuk ruang isolasi pasien jiwa berat.

Aku mendengar Hafshah berdoa di samping gerbang malam itu. Hujan turun perlahan.

"Ya Allah, jangan sembuhkan Ummi kalau itu harus membuat dia lupa sama Abi. Jangan juga sembuhkan kalau Ummi jadi gak kenal aku. Tapi, kalau boleh, sembuhkan saja, walaupun umi nanti gak kenal aku, gak apa-apa, asal umi gak nangis lagi."

Aku menunduk. Tak ada doa yang lebih dewasa daripada itu.

Tiga minggu kemudian, Uminya wafat. Malam sebelum wafat, ia menggigit jarinya sendiri sampai berdarah. Lalu ia menulis dengan darah itu di tembok, "Jangan biarkan Hafshah sendirian."

Ketika kuberitahu Hafshah keesokan harinya, ia hanya diam.

Lalu ia berkata, "Abi bilang orang sabar itu teman Allah. Mungkin sekarang Umi udah duduk sama Allah."

Ia lalu mengambil kertas gambar terakhirnya. Kali ini, ia menggambar langit. Di atasnya, ada tulisan sederhana dengan spidol merah:

"Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai kesanggupannya." Itulah kutipan al-Qur'an surat al-Baqarah ayat 286.

Lalu ia berdiri. Kursi kecil itu ia tinggalkan begitu saja.

o0o

Bertahun-tahun setelahnya, kursi itu masih ada di sana. Sudah retak, sudah pudar warnanya. Tapi aku biarkan tetap di situ. Sebagai pengingat.

Hafshah telah pergi. Tak ada yang tahu ke mana. Tapi setiap Ramadhan, seseorang mengirim makanan untuk semua pasien RSJ dengan catatan kecil:

"Untuk Ummi, ummi yang sedang berjuang menemukan kembali suaranya." –Hafshah

Dan aku tahu, suaranya kini tinggal di langit.

o0o

Kesedihan itu bukan hukuman. Ia adalah jembatan. Sebagian kita dilahirkan untuk menanggung luka yang besar, bukan karena Allah benci, tapi karena Allah ingin kita tumbuh lebih kokoh.

Rasulullah ﷺ pernah bersabda, "Siapa yang bersabar, maka Allah akan menambahkan kesabaran padanya. Dan tidak ada pemberian yang lebih luas dan lebih baik daripada kesabaran." (Riwayat Bukhari dan Muslim)

Hafshah adalah gambaran dari anak-anak yang kehilangan segalanya, tapi tetap memilih tidak menyalahkan takdir. Sebab ia tahu, Allah tidak pernah tidur, dan setiap airmata yang jatuh akan kembali dalam bentuk pelukan dari langit. ***


(Penulis adalah mahasiswi STID M Natsir, Jakarta)