Di sebuah pelabuhan yang sunyi, sebuah kapal tua bersiap meninggalkan dermaga. Lentera-lentera kuning masih berkedip, aroma garam dan tali basah masih terasa, namun keheningan pagi itu dipecahkan oleh deru mesin kapal yang bersiap berlayar.
Kapal itu—bersama seorang anak yang tengah beranjak dewasa—siap mengarungi lautan luas, meninggalkan pelabuhan yang selama ini menjadi tempat berteduhnya.
Pelabuhan, dengan dermaga yang kokoh dan air yang tenang, merasakan getaran kepergian itu. Seperti detak jantung yang melemah, ada kesedihan yang mengiringinya.
Namun di balik kesedihan itu, terselip pula kebanggaan. Kapal itu pergi dengan gagah, layarnya terkembang penuh, siap menghadapi tantangan samudra. Pelabuhan tahu, kepergian ini adalah bukti keberhasilannya mempersiapkan kapal untuk perjalanan panjang.
Begitu pula perjalanan seorang anak menuju kedewasaan. Kita tentu masih ingat masa-masa ketika mereka kecil, dengan mata berbinar penuh cerita tentang hal-hal baru yang ditemui. Kini, ketika kita bertanya tentang harinya, jawaban yang kita terima hanyalah singkat: “Biasa saja.”
Pintu kamar yang dahulu selalu terbuka kini tertutup rapat. Kita ingin memeluk mereka, tetapi khawatir dianggap mengganggu. Kita ingin menanyakan kabarnya, tetapi takut dianggap terlalu ikut campur.
Masa remaja adalah masa pencarian jati diri. Bukan berarti menjauh, melainkan belajar melepaskan ketergantungan masa kanak-kanak. Cinta orang tua pun berubah bentuk. Jika dulu cinta hadir lewat genggaman tangan saat menyeberang jalan, kini cinta itu hadir dalam doa di keheningan malam, dalam ruang yang lapang ketika mereka butuh pulang, dan dalam keyakinan bahwa mereka mampu menjalani hidup dengan bekal yang telah kita berikan.
Melepas anak menuju masa depan adalah ujian kesabaran sekaligus keikhlasan. Kita belajar bahwa cinta sejati bukanlah mengekang, melainkan memberi kebebasan yang bertanggung jawab.
Biarkan mereka berlayar menjelajahi samudra yang jauh, menghadapi gelombang yang mungkin tak pernah kita kenal. Pelabuhan hati kita akan selalu ada—kokoh, setia, dan siap menyambut mereka pulang suatu hari nanti. Sebab, tugas terbesar cinta bukanlah menahan, melainkan melepas dengan keyakinan bahwa di mana pun mereka berada, hati kita akan selalu menjadi tempat mereka berlabuh.***
(Penulis adalah mahasiswi STID M Natsir, Jakarta)