Penulis: Ahmadie Thaha (Cak AT) |
Indonesia memang negara penuh kreativitas: mulai dari bikin jalan tol sampai bikin kerusuhan, semua ada ahlinya. Bedanya, kalau jalan tol butuh tender resmi, kerusuhan cukup pakai bensin eceran dan narasi elite yang gampang sekali menguap.
Mari kita mulai dengan sebuah klarifikasi sederhana. Tidak semua orang yang turun ke jalan otomatis menjadi perusuh. Demonstrasi _(protest)_ adalah hak konstitusional, sedangkan kerusuhan _(riot)_ adalah kekacauan kriminal.
Sayangnya, di negeri ini dua istilah itu sering disamakan —oleh pemerintah, oleh media, bahkan oleh sebagian masyarakat. Hingga, seolah-olah mahasiswa yang orasi sambil bawa spanduk setara dengan maling yang menjarah minimarket.
Demo adalah arena politik rakyat paling klasik. Sejarah politik penuh kisah demo. Dari teori Charles Tilly hingga Sidney Tarrow, aksi kolektif selalu dipahami sebagai _contentious politics_ —politik yang penuh gesekan, tapi sah dan diakui undang-undang.
Di demo selalu ada orasi, ada poster, ada mahasiswa yang merasa dirinya Che Guevara padahal baru semester tiga, tak jarang ada emak-emak yang berteriak garang. Biasanya, demo selesai dengan bubaran tertib, atau kalau agak panas, ya ditemani gas air mata sedikit.
Dalam banyak kasus demontrasi, gesekan memang terjadi. Aparat punya protokol _crowd control_: negosiasi, pembatasan, hingga pembubaran paksa. Di titik ini, kekerasan kadang muncul. Namun, tujuan demo tetap sama: menyampaikan aspirasi, bukan menjarah lapak-lapak mart.
Kerusuhan berbeda. Ia ditandai dengan kekerasan terorganisasi: pembakaran, penjarahan, penghancuran simbol negara. Sosiolog Paul Brass menyebut adanya _institutionalized riot system_ —bahwa kerusuhan jarang benar-benar spontan. Selalu ada yang mengorkestrasi.
Di banyak penelitian konflik Asia Selatan (Tambiah, Varshney, dsb.), muncul istilah _riot specialists_: orang-orang yang memang ahli memprovokasi. Mereka tahu kapan melempar batu pertama, kapan menyalakan bensin, kapan kabur sebelum polisi datang.
Ironisnya, keahlian ini jarang dimiliki mahasiswa idealis yang kurang baca atau kurang gaul dengan intel. Lebih sering ditemukan di lingkaran intelijen, preman politik, atau jaringan gelap yang punya kepentingan kekuasaan.
Jadi mari jujur: sulit membayangkan mahasiswa jurusan Akuntansi bisa dengan lihai membakar markas Brimob. Wong ngerjain skripsi saja setengah mati. Tengok saja siapa-siapa yang ditangkapi polisi dengan sangkaan melakukan kerusuhan.
Presiden Prabowo Subianto memilih narasi berbeda. Ia menjenguk aparat yang terluka, memberi semangat, tapi absen menengok keluarga-keluarga sipil yang tewas. Simbol politiknya jelas: negara berdiri di belakang tameng kekuasaan, bukan di samping rakyat yang jadi korban.
Belum cukup di situ. Ia meluncurkan operasi "bersih-bersih." Tapi jangan bayangkan bersih-bersih pakai sapu lidi atau _vacuum cleaner_. Bersih-bersih ala Prabowo pakai _water cannon_, barisan Brimob, dan kadang bonus tank baja lewat di jalan raya. Katanya untuk menakut-nakuti massa.
Problemnya, pameran kekuatan seperti ini lebih cocok untuk _military parade_ ketimbang respons demokratis. Secara psikologis, efek ketakutan memang ada, tapi riset konflik menunjukkan bahwa represi berlebihan sering jadi bahan bakar baru. Tarrow (1998) menyebutnya _repertoires of contention_: makin ditekan, makin kreatif perlawanan.
Lalu siapa sebenarnya yang bikin rusuh? Rakyat biasa? Rasanya tidak. Teori sederhana: rakyat marah bisa bakar ban, tapi membakar gedung DPRD atau markas polisi jelas level berbeda. Sejarah pun mengajarkan.
Dalam peristiwa Malari 1974, ada faksionalisme militer. Pada kerusuhan Mei 1998, keterlibatan jaringan kekuasaan jelas, meski tak pernah tuntas diusut. Di tahun 2025? Nah, pola lama muncul lagi, hanya para pemainnya, kata Ferry Irwandi, berada di dalam kekuasaan.
Maka wajar jika tuduhan "ada aktor asing" terdengar basi. CIA, Soros, USAID —semua jadi kambing hitam langganan. Padahal, pelaku lokal jauh lebih mungkin. Seperti pepatah: kalau ada sapi masuk sawah, jangan buru-buru nuduh alien dari Mars; periksa dulu pagar tetangga.
Membedakan demo dan rusuh itu penting. Demo adalah koreksi rakyat, rusuh adalah sabotase. Menyebut semua demo sebagai kerusuhan sama saja dengan menyebut semua kritik sebagai makar. Itu gejala _authoritarian reflex_ —refleks otoriter yang, kata para ilmuwan politik, merupakan tanda rezim yang takut kehilangan legitimasi.
Pemerintah seharusnya tidak buru-buru memakai narasi "bersih-bersih" untuk semua. Kalau ingin bersih sungguhan, mulailah dari korupsi, kolusi, nepotisme, mafia hukum, dan serakahnomic. Sapu lidi itu efektif kalau diarahkan ke sampah yang benar, bukan ke mahasiswa yang bawa spanduk.
Jadi, siapa ahli rusuh sesungguhnya? Jelas bukan mahasiswa yang lapar idealisme, dan memperjuangkan keadilan. Jelas bukan buruh yang menolak upah murah. Melainkan mereka yang punya kuasa, akses, dan jaringan senjata.
Dan jika pemerintah tetap menyapu demo dengan tank, maka sejarah akan mencatat: yang dirusak bukan hanya gedung atau jalanan, tapi juga nalar publik dan demokrasi yang sedang tipis-tipis dijaga. ***
(Penulis adalah kolumnis Ma'had Tadabbur al-Qur'an)