Penulis: Eliya Zulfa |
Wahyu pertama yang turun kepada Nabi Muhammad ﷺ bukanlah perintah untuk salat, berpuasa, atau berzakat, melainkan sebuah perintah sederhana namun mendasar: membaca. Dalam Surah Al-‘Alaq ayat 1–5, Allah Ta'ala menegaskan:
"Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Mahamulia. Yang mengajar (manusia) dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya."
Ayat ini mengajarkan kita bahwa membaca dan menulis adalah dua hal yang tak terpisahkan. Membaca membuka jalan mengenal dunia, sementara menulis adalah cara dunia mengenal kita.
Sejarah membuktikan, banyak tokoh besar lahir dari tradisi membaca dan menulis. Salah satunya adalah Mohammad Hatta, proklamator kemerdekaan Indonesia. Kecintaannya pada buku begitu besar hingga saat dibuang ke Banda Neira dan Boven Digoel pada 25 Februari 1934, ia membawa 16 peti penuh berisi buku. Di sana ia tetap membaca, menulis, dan melahirkan gagasan-gagasan besar. Bahkan ketika menikahi Rahmi Rahim, maskawin yang diberikannya bukan perhiasan atau harta, melainkan sebuah buku karyanya sendiri berjudul Alam Pikiran Yunani.
Begitu pula dengan Mohammad Natsir, seorang ulama sekaligus politikus Islam. Sejak tahun 1929 ia sudah aktif menulis, menghasilkan lebih dari 45 buku dan ratusan artikel. Dari bahasa Belanda hingga Inggris, tulisannya membahas Islam, politik, budaya, hingga hubungan antaragama. Tak berlebihan jika Ajip Rosidi dan Buya Hamka menyebut karya-karya Natsir sebagai catatan sejarah yang menjadi panduan bagi umat Islam.
Tradisi ini sebenarnya telah diwariskan sejak lama oleh para ulama besar. Imam Syafi’i dengan Al-Umm, Imam Malik dengan Al-Muwattha, dan banyak lagi ulama lain yang kita kenal bukan dari rupa mereka, melainkan dari tulisan yang mereka tinggalkan. Tulisanlah yang membuat ilmu mereka abadi, menembus ruang dan waktu.
Tak heran bila penulis besar seperti Stephen King pun berkata, “If you don’t have time to read, you don’t have the time (or the tools) to write, simple as that.” (Jika kita tidak menyediakan waktu untuk membaca, maka kita pun tidak akan memiliki bekal untuk menulis).
Membaca adalah tinta, dan menulis adalah jejaknya. Dengan membaca kita menyerap dunia, dengan menulis kita meninggalkan warisan bagi dunia. ***
(Penulis adalah mahasiswi STID M Natsir, Jakarta)