Senin, 31 Oktober 2022

LPBKI MUI Gelar Peringatan Hari Santri dan Sumpah Pemuda

Penulis: Ibnu M Hawab |

JAKARTA --- Lembaga Pentashih Buku dan Konten Keislaman Majelis Ulama Indonesia (LPBKI MUI) mengadakan acara Peringatan Hari Santri dan Sumpah Pemuda dengan tema Pengembangan Literasi Islam di Lingkungan Pesantren di Pesantren al-Wathoniyah Pusat, Jakarta Timur, Senin (31/10/2022).

Lembaga Pentashih Buku dan Konten Keislaman MUI mengadakan peringatan hari santri dan sumpah pemuda dengan menggelar diskusi literasi Islam.

Ketua MUI, Utang Ranuwijaya, dalam rilis yang diterima redaksi Tadabbur Republika mengatakan, literasi Islam perlu terus disosialiasikan kepada semua pihak, terutama generasi milenial dan Z, sebagai penerus bangsa ini, baik secara offline maupun online. Menurutnya, selain di pesantren edukasi literasi Islam di media sosial juga tidak kalah penting dilakukan karena hampir semua anak muda aktif menggunakannya.

Ia kemudian menyitir sebuah hadits yang berbunyi "Aku (Nabi Muhammad) tinggalkan dua perkara yang kalian tidak akan tersesat selamanya jika kalian berpegang teguh kepada keduanya: Kitabullah dan Sunnati."

Ia mewanti-wanti, agar seseorang tidak tersesat sebagaimana Ahmad Musadeq, Lia Eden, dan orang lainnya yang mengaku sebagai Nabi maka mereka harus berpegang teguh pada dua warisan Nabi tersebut. Di akhir, ia menegaskan bahwa literasi Islam memainkan peranan penting untuk menjaga keutuhan NKRI.

Direktur Rumah Daulat Buku, Soffa Ihsan, yang menjadi narasumber dalam acara ini menceritakan pengalamannya belajar di pesantren. Ia mengatakan, tradisi-tradisi di pesantren seperti bahtsul masail, sorogan, bandongan, dan musyawarah mendorong dirinya untuk terus meningkatkan literasi sehingga ia bisa berkuliah di Inggris. Saat studi di Inggris, ia menemukan bahwa metode sorogan yang diterapkan di pesantren juga ternyata digunakan oleh para doktor di Oxford.

Ia mendorong semua orang, terutama para santri, untuk terus membaca secara utuh agar punya wawasan yang luas dan perspektif yang komprehensif. Itu penting agar mereka tidak mudah menyalahkan dan bahkan mengkafirkan orang lain yang pemahaman dan praktik keagamaannya berbeda dengannya, sebagaimana yang dilakukan kelompok takfiri. Lebih dari itu, jika seseorang punya literasi Islam yang baik maka ia tidak akan menjadi ekstremis atau radikalis.
 
"Kurangnya literasi membuat orang menjadi radikal. Kalau pun membaca hanya sepotong-sepotong sehingga pemahamannya sempit dab dangkal," katanya.

Ia kemudian menjelaskan bahwa kitab-kitab yang ditulis para ulama dahulu tidak hanya membahas tentang agama saja, tetapi juga matematika, optik, astronomi, kesehatan, fisika, dan lainnya. Ia mendorong agar para santri terus mengembangkan literasi Islam yang sudah dimulai para ulama terdahulu tersebut.

Pimpinan Pesantren al-Wathoniyah Pusat yang juga Wakil Sekretaris Jenderal MUI, Arif Fahrudin, mengatakan, pesantren seharusnya menjadi pusat literasi Islam wasathiyah. Pesantren dan kelompok-kelompok wasathiyah, katanya, harus mengisi ruang-ruang literasi Islam agar itu tidak diisi oleh kelompok-kelompok yang tidak bertanggung jawab dan memecah belah bangsa.

Ia mengusulkan agar LPBKI bekerja sama dengan pesantren-pesantren untuk mengadakan pelatihan-pelatihan untuk penguatan narasi wasathiyah. Ia menyebut, para ulama zaman dulu sangat produktif dalam menulis kitab misalnya Syekh Nawawi, Syekh Mahfudz, dan lainnya. Karena itu, ia mendorong para santri untuk mengikuti jejak para ulama dulu.

Menurut Arif, hasil tashih LPBKI MUI seharusnya diarusutamakan agar masyarakat punya bahan bacaan dan pemikiran yang wasathiyah dan tidak berlebih-lebihan. Lebih dari pada itu, ia menyatakan bahwa saat ini buku-buku atau literasi Islam berbahasa Indonesia perlu diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dan Inggris agar menjadi inspirasi bagi dunia, mengingat situasi dan kondisi di Indonesia yang relatif aman dan toleran meski masyarakatnya begitu majemuk. ***

(Penulis adalah redaktur Ihwal.net)