Rabu, 17 Maret 2021

Akademi Dakwah Indonesia (ADI): Terobosan yang Visioner

Oleh: Fatih Madini ---

“Dewan Dakwah Islamiyyah Indonesia adalah sebuah warisan besar dari Pak Natsir, Prof. Rasjidi dll. Tokoh tokoh dakwah di negeri kita telah memilih jalan ini, demi menghadapi situasi yang begitu pelik. Alhamdulillah sampai sekarang warisan ini mampu bertahan. Mulai dari warisan intelektual, fisik, dan tradisi keteladanan.” 

Begitulah muqaddimah Ketua Umum DDII, Dr. Adian Husaini tatkala menyampaikan tausiyah di Akademi Dakwah Indonesia (ADI) kota Metro, Lampung hari ini (Jum'at, 27 November 2020). Acara kali ini dihadiri oleh beberapa sesepuh DDII, para dosen dan mahasiswa ADI. ADI adalah salah satu lembaga pendidikan non formal setingkat pra universitas dengan sistem pesantren, di bawah naungan DDII. Sampai saat ini ADI sudah mempunyai belasan cabang di berbagai provinsi.

Inti tausiyahnya adalah hendak menekankan bahwa ADI adalah sebuah terobosan yang visioner sebagai bentuk koreksi terhadap sebagian besar sistem pendidikan di Indonesia yang kurang tepat, khususnya SMA dan perguruan tinggi Islam. Kekurangtepatannya itu ada pada ketidaksiapan dan ketidakmampuan para murid untuk terjun ke masyarakat, menjawab nilai-nilai kehidupan.

Problem dasarnya ada pada usia pendidikan, dimana murid-murid SMA tidak lagi diperlakukan sebagai orang dewasa. Akhirnya lulusan SMA bahkan S1 hanya pintar menjawab soal dan hanya disiapkan supaya bisa masuk kampus. Namun ia tidak matang dan kekeringan soft skill. 

Imam Zarkasyi pesantren Gontor-nya dan Ki Hajar Dewantara dengan Taman Siswa-nya pun sepakat bahwa usia anak SMA sekarang adalah usia orang dewasa. Artinya, ketika ia lulus, ia siap diterjunkan di masyarakat untuk jihad dan dakwah serta hidup mandiri. Karena memang nilai-nilai soft skillnya sudah tertanam.

Pesantren dulu pun adalah lembaga jihad, sebagai salah satu bentuk perlawanan terhadap penjajah. Setidaknya, cukup perjuangan Laskar Santri tahun 45 dalam rangka mempertahankan kemerdekaan Indonesia (setelah dikeluarkannya fatwa jihad oleh ketua MASYUMI, KH. Hasyim Asy'ari) menjadi bukti nyata peran pesantren di Indonesia. 

Dalam rangka mengisi kekosongan da'i-da'i muda, sebagai lembaga pendidikan pra universitas dengan berbasis sistem pesantren, ADI pun berusaha menambalnya. Disaat orang lain sibuk mencari nilai, kampus bergengsi, dan pekerjaan yang mapan demi materi yang tak sedikit, ADI justru berusaha melahirkan para mujahid terlebih dahulu.

Ingatlah, dengan penanaman ruh jihad, mau tidak mau setiap orang dituntut memahami dan berusaha tazkiyatun nafs semaksimal mungkin. Dan ingatlah, dengan penanaman nilai-nilai perjuangan, setiap insan akan mempunyai 4 hal yang sangat dibutuhkan di era disrupsi ini: critical thinking, creativity, communication, dan collaboration. Empat hal itulah yang tidak bisa tidak dimiliki oleh setiap da'i demi kesuksesan dakwahnya. 

Pembina kampus At-Taqwa College itu juga menekankan bahwa satu-satunya profesi yang dijamin rezekinya oleh Allah, adalah mujahid (QS Muhammad ayat 7). Dan dengan mengutip Pak Husni Tamrin, ia juga berpesan supaya kita terus menerus memikirkan jihad. Dengan begitu, insyaallah, diri kita ada yang pikirkan.

Lalu bagaimana dengan hard skillnya? Dengan berasas pada DDII dan sistem pesantren pastilah ilmu-ilmu yang disuguhkan tidak menyimpang. Lebih-lebih di era disrupsi ini, yang telah menyediakan beragam informasi di internet. Bahkan justru yang seharusnya ditakutkan dari era disrupsi bukanlah kekurangan informasi, tetapi terjadinya dekadensi moral. Karena fungsi guru sebagai pentransfer ilmu bisa digantikan internet, tapi sebagai penanam nilai apakah mungkin? Lagipula, bukankah kesuksesan hard skill (meski hanya satu) ditentukan oleh sukses-tidaknya penanaman soft skill dalam diri seseorang?

Tugas kita sekarang adalah bagaimana mengubah persepsi masyarakat terhadap ADI dan lembaga-lembaga pendidikan sejenis ADI lainnya. ***


(Penulis adalah mahasiswa At-Taqwa College)