Sabtu, 16 Agustus 2025

Untukmu Ibu, dan Untukku yang Hampir Tak Mampu Bertahan

Penulis: Siti Endah Permata |

Jika ada satu hal yang tak pernah kusangka dalam hidup ini, itu adalah kenyataan bahwa aku masih bertahan hingga titik ini. Duduk di depan layar laptop, menulis artikel terakhir untuk mata kuliah Jurnalistik semester enam, bukan hanya sebagai tugas akademik, melainkan sebagai bukti bahwa aku pernah memilih untuk tidak menyerah.

Perjalanan ini tidak pernah mudah. Terlalu sering aku merasa hampir berhenti.

Aku lahir dari keluarga sederhana—bahkan sangat sederhana. Ayah dan ibu hanya lulusan sekolah dasar. Kami tinggal di kampung kecil yang, jika ditunjukkan di peta, mungkin tersembunyi di balik pegunungan dan jalan tanah yang tak pernah benar-benar kering dari lumpur.

Siapa sangka, seorang anak kampung yang dulu hanya bisa bermimpi melihat Jakarta dari televisi, kini benar-benar bisa melangkahkan kaki untuk menuntut ilmu di kota itu. Semua terjadi karena satu kekuatan: doa ibu.

Di tahun-tahun awal kuliah, sering sekali aku menangis diam-diam di kamar asrama. Tak ada yang tahu bahwa di balik senyum di kelas, ada malam-malam basah oleh air mata. Ada rindu yang menggerogoti, ada kepala yang pening memikirkan biaya, ada jiwa yang letih mempertanyakan: “Apa aku masih bisa lanjut?”

Namun semua itu terasa kecil dibandingkan ujian terberatku: ketika ibu jatuh sakit di awal semester lima. Bukan sekadar sakit fisik, tetapi luka batin yang tak terlihat mata. Tubuhnya lemah, pandangannya kosong, jiwanya seolah hilang. Dan aku… aku hanyalah anak satu-satunya, tanpa saudara, tanpa ayah, karena ayah telah pergi ketika aku baru berusia empat tahun. Sejak dulu, hanya ada aku dan ibu.

Dalam sekejap, dunia runtuh. Harapan seakan mati. Aku ingin pulang. Aku harus pulang. Untuk apa gelar jika tak ada ibu yang melihatnya? Untuk apa ilmu, jika tak bisa kupakai menjaga satu-satunya orang yang kucinta?

Satu bulan penuh aku menemaninya. Satu bulan penuh aku menanti keajaiban. Berkali-kali keinginan menyerah mengetuk. Ingin rasanya mengirim pesan ke kampus: “Saya tidak akan melanjutkan kuliah.” Tetapi hatiku ragu. Bukan karena tak yakin, melainkan karena aku tahu… ibu tidak akan pernah membiarkanku menyerah.

Dan benar. Di tengah rapuhnya tubuh itu, ia memaksakan senyum, lalu berkata lirih:
"Nak, teruslah belajar. Jangan patah. Jangan takut. Allah akan jaga Ibu di sini. Kau cukup lanjutkan langkahmu."

Kalimat itu memecah tangisku. Ibu yang terbaring lemah, justru yang mengajarkanku arti bertahan.

Aku kembali ke Jakarta dengan langkah berat, hati separuh tertinggal di rumah. Namun perlahan tekad itu tumbuh kembali. Bahwa kuliah ini bukan hanya untukku, melainkan juga untuk ibuku. Untuk peluh dan lelahnya yang tak pernah ia keluhkan.

Hari-hariku kini tak lagi sama. Setiap buku yang kubuka, setiap kalimat yang kutulis, setiap langkahku ke kelas—semua terasa bermakna karena ada doa yang mengiringi. Doa seorang ibu, yang mungkin tengah bersujud diam-diam sambil menyebut namaku.

Aku tahu perjalanan ini belum selesai. Semester tujuh dan delapan masih menanti. Ujian-ujian pasti akan datang lagi. Tetapi kali ini aku tak lagi gentar. Karena aku percaya: jika aku jatuh, doa ibu akan menjadi sayap untuk terbang. Jika aku lelah, wajahnya akan memberiku tenaga baru. Jika aku kalah, pelukannya akan membuatku merasa dimenangkan.

Ya Allah, panjangkan umur ibuku. Berkahilah usianya. Jangan ambil dia dariku, karena aku ingin hidup lebih lama bersamanya. Aku ingin memeluknya dengan jubah wisuda, lalu berkata: “Ini semua karena pertolongan Allah dan doa Ibu.”

Untukmu, Ibu…
Tak ada diksi yang cukup untuk menggambarkan betapa berharganya engkau. Tak ada kata secantik apa pun yang bisa melukiskan cintaku padamu. Aku bisa bertahan sampai sejauh ini hanyalah karena pertolongan Allah dan doa-doamu yang tak pernah usai.

Dan untuk diriku yang dulu ingin berhenti… terima kasih karena tetap bertahan. Terima kasih karena percaya bahwa badai akan berlalu. Kini kau sedang menyongsong fajar, satu langkah lebih dekat pada impian.

Sungguh, tidak semua yang berjalan cepat akan lebih dulu sampai. Tetapi mereka yang terus melangkah—sekecil apa pun jejaknya—akan lebih pasti mencapai tujuan.

Karena bertahan, juga adalah bentuk paling sunyi dari keberanian. ***